Hakekat Politik Islam

Penulis : admin

April 4, 2008

Oleh: KH. Ihya Ulumiddin
Saat ini, jika ada orang bicara politik, pasti selalu saja dikait-kaitkan dengan jabatan, kekuasaan, dan uang. Nampaknya, makna politik menurut kacamata masyarakat dewasa ini tidak bergeser dari ketiga hal tersebut. Pemahaman masyarakat menjadi seperti ini merupakan sebuah akibat dari perilaku para pelaku politik itu sendiri. Sepak terjang para pemain politik dari mulai masa kampanye sampai ketika sudah menduduki jabatan atau kekuasaan, yang setiap saat dapat selalu ditonton oleh masyarakat luas, sarat dengan aspek kekuasaan, jabatan dan uang. Sedikit sekali –untuk tidak mengatakan tidak ada— perilaku-perilaku mereka yang lebih menonjolkan aspek moral dan keadilan.
Hal itu bisa dilihat dari perilaku-pelaku politik menjelang masa pemilihan. Hampir semuanya, selain menawarkan janji-janjinya yang belum tentu ditepati, mereka juga tidak lupa menggunakan senjata politik uang (money politik). Menurut logika, siapa pun yang berinvestasi, pasti menginginkan keuntungan. Demikian pula jika seseorang dalam usahanya mendapatkan jabatan itu ia telah mengeluarkan dana yang tidak kecil, maka ketika ia sudah berhasil memperoleh jabatan itu, hampir bisa dipastikan ia akan berupaya sekuat tenaga mengembalikan dana yang telah diinvestasikan, meski harus dengan cara-cara yang tidak benar sekalipun.
Kesan negatif terhadap institusi politik saat ini memang cukup beralasan. Dari sekian banyak partai politik, jarang sekali diketemukan partai yang betul-betul bisa dikatakan menepati janji-janji yang diumbar pada masa kampanye. Rata-rata politisi yang sudah aman duduk di dewan menjadi lupa terhadap konstituennya, lupa akan janji-janjinya, lupa pulang ke daerah pemilihnya, dan lupa membalas jasa terhadap orang-orang yang dulu telah mencoblosnya.

Politik Dalam Perspektif Islam
Pemaknaan politik menurut definisi yang sebenarnya adalah sebuah pengaturan dan pemeliharaan urusan ummat. Hal ini cocok sekali dengan arti kata “politik” yang dalam Bahasa Arab disebut “as siyasah”. Kata siyasah berasal dari kata saasa-yasuusu-siyasatan yang berarti mengurus atau mengatur kepentingan orang.

Untuk mengurus atau mengatur urusan umat tersebut, praktis dibutuhkan satu institusi yang memiliki kewenangan luas dan meliputi seluruh sisi kehidupan, baik itu masalah ekonomi, pemerintahan, politik dalam dan luar negeri, masalah hukum dan perundang-undangan, pertahanan dan sosial budaya, pendidikan dan lain-lain. Dan satu-satunya institusi yang berwenang secara luas dan berkedaulatan penuh adalah negara atau daulah atau khilafah.

Dari definisi di atas, berbicara politik tidak bisa dilepaskan dengan negara dan pemerintahan. Berbicara masalah hukum dan perundang-undangan, tidak bisa lepas dari kekuasaan politik dan pemerintahan. Alhasil, politik dan Islam adalah dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Bicara Islam secara kaaffah, maka harus menyinggung masalah politik. Dan bicara politik, maka pasti tidak bisa lepas dari pandangan politik Islam. Fakta sejarah kehidupan umat Islam sejak dari dulu, menunjukkan bahwa Islam dan kaum muslimin tidak bisa dipisahkan dari kehidupan politik.

Peristiwa Hijarah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah selain dipahami sebagai peristiwa keagamaan, juga merupakan peristiwa politik dalam rangka membangun masyarakat dan pemerintah kota Madinah yang damai, tentram, tenang, adil dan makmur. Peran Baginda Nabi Muhammad SAW waktu itu, selain sebagai seorang Nabi, beliau juga sebagai seorang kepala negara.

Islam adalah meliputi akidah dan syariat, ad Diin wad Daulah. Hal itu sangat berbeda dengan agama-agama lain, seperti Kristen, Yahudi, Budha, Hindu. Karena agama-agama tersebut hanya memuat tuntunan-tuntunan moral saja, tetapi tidak mengajarkan sistem politik, sistem ekonomi, sistem hukum, sistem pemerintahan dan sistem sosial. Sehingga wajar jika kemudian pelibatan agama tersebut dalam kehidupan politik dan pemerintahan akan menyebabkan pemerkosaan dan penodaan terhadap agama. Karena pada dasamya yang membuat aturan tersebut bukanlah Tuhan, tetapi akal dan nafsu manusia.
Tetapi sangat berbeda dengan Islam yang bersifat syamil dan kamil, yaitu bersifat menyeluruh, tidak memiliki cacat sedikit pun, mengatur seluruh sisi kehidupan manusia dari kehidupan individu, keluarga, masyarakat, dan negara. Dari urusan yang paling kecil seperti makan, tidur dan lain-lain sampai yang paling besar, seperti politik, hukum, ekonomi dan lain-lain. Allah SWT. berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ
نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al Maidah: 3).
Dalam ayat lain Allah juga menegaskan:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ

“Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. An Nahl: 89).

Lafadz “syaiin” (segala sesuatu) mencakup seluruh sisi kehidupan manusia. Tidak ada satu pun yang lepas dari aturan Allah SWT. Oleh karenaya, prinsip-prinsip paham Sekulerisme yang memisahkan antara urusan agama Islam dengan dunia jelas sekali bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam.

Agama Islam bisa tegak dan eksis sebagai agama sekaligus sebagai sistem ideologi jika ditegakkan dan dijaga oleh eksistensi sebuah negara atau kekuasaan. Beberapa syariat atau aturan Islam tidak akan dapat dilaksanakan kecuali jika adanya kekuasaan negara atau sistem. Misalnya sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem politik luar negeri dan dalam negeri, atau sistem hukum. Contoh yang paling aktual adalah gagalnya Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) untuk disahkan, karena lemahnya kekuatan Islam yang mendukung RUU tersebut di beberapa lembaga negara.

Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Harus diketahui bahwa wilayah (perwalian atau pemerintahan) urusan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar. Bahkan tidak ada artinya penegakan agama dan dunia tanpa perwalian/pemerintahan ini. Kemaslahatan Bani Adam tidak akan berjalan secara sempuma kecuali dengan membentuk komunitas, karena sebagian di antara mereka pasti membutuhkan sebagian yang lain. Dalam komunitas itu dibutuhkan seorang pemimpin. Hingga beliau SAW bersabda, ‘Jika ada tiga orang yang bepergian dalam perjalanan, hendaklah mereka mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin.” (Lihat Kitab As-Siyasah Asy-Syar’iyyah).

Imam AI-Ghozali juga menegaskan, “Dunia adalah ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempuma kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah anak kembar. Agama merupakan dasar dan sultan atau imam merupakan penjaga. Sesuatu yang tidak memiliki dasar pasti akan binasa dan sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan mudah sirna. Kekuaaaan dan penerapannya tidak akan menjadi sempurna kecuali adanya sultan atau imam.” (Lihat Ihya Ulumiddin, 1:71).

Sikap yang mengeneralisir semua agama sama, baik Kristen, Islam, Hindu dan Budha adalah suatu tindakan yang sangat bodoh. Doktrin pemisahan agama terhadap kehidupan, terutama politik dan pemerintahan, akan sangat tepat jika hal jtu diterapkan untuk agama selain Islam. Karena memang agama-agama lain, seperti Kristen, Hindu, Budha, Konghuchu tidaklah mempunyai konsep aturan hidup, baik konsep pemerintahan, politik, ekonomi dan moneter, sosial-budaya, keluarga, politik luar negeri atau konsep hukum.

Mencari Ridla Allah, Bukan Mencari Kekuasaan
Kalau politik atau siyasah itu artinya memelihara urusan ummat, maka para pelaku politik Islam hendaknya harus berani merubah paradigma politiknya, bahwa tujuan berpolitik adalah untuk mengatur, mengurus dan memelihara urusan ummat, yang semuanya bermuara pada satu titik, yaitu untuk mencari ridla Allah (libtighai mardlatillah). Bukan sebaliknya, untuk semata-mata mencari jabatan, uang dan kekuasaan.

* Pengasuh PP. Nurul Haromain Pujon Malang.

Tulisan Terkait

Biografi Singkat KH. Abdullah Faqih

Biografi Singkat KH. Abdullah Faqih

KH. Abdullah Faqih adalah ulama yang kharismatik sekaligus pengasuh generasi keenam Pon. Pes. Langitan. Beliau merupakan kiai yang sederhana dengan sifat tawadu yang luar biasa.  Selain itu beliau juga mempunyai kiprah yang berpengaruh bagi NU, hal ini terbukti karena...

Taushiyah Kebangsaan KH. Abdullah Habib Faqih

Taushiyah Kebangsaan KH. Abdullah Habib Faqih

Sudah 77 tahun Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda. Selama 350 tahun Indonesia dijajah oleh Belanda dan tiga tahun setengah dijajah oleh Jepang. Menurut data penjajahan dunia, Indonesia dalam bentuk negara sudah merdeka. Seluruh dunia sudah mengakui kemerdekaan...

Seminar Sosmed sebagai Bekal Santri Millenial

Seminar Sosmed sebagai Bekal Santri Millenial

Kamis-Jumat (30 Juni – 01 Juli 2022), Media Dakwah Langitan (MDL) mengadakan sebuah acara seminar tentang pemanfaatan dan edukasi sosmed di kalangan santri. Seminar yang bekerja sama dengan OSIS-ISMA Al-Falahiyah tersebut bertajuk ‘Seminar Sosmed dan Inspirasi Digital...

11 Comments

  1. nAQIY

    leres.. kula setuju banget bilih Khilafah menika kepemimpinan ingkang Adil lan berdaulat penuh..

    Reply
  2. Suroso MojoNgadirejo

    1. Keimanan Melahirkan Keterikatan Terhadap Hukum Syara’
    Keimanan mengharuskan seorang muslim untuk tunduk dan patuh terhadap ketetapan-ketetapan Allah swt dan Rasul-Nya saw. Betapa banyak nash yang menegaskan hal tersebut, diantaranya adalah:
    وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا [الأحزاب: 36]
    “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS. Al-Ahzaab [33]: 36)

    عن أبي محمد عبد الله بن عمرو بن العاص رضي الله عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم : لا يؤمن أحدكم حتى يكون هواه تبعاً لما جئت به . رواه الحسن بن سفيان
    Dari Abu Muhammad Abdullah bin Amru bin ‘Ash ra berkata, Rasulullah saw bersabda: “Tidak beriman salah seorang di antara kalian hingga hawa-nafsunya mengikuti apa-apa yang aku bawa.” (HR. Hasan bin Sufyan – Hasan Shahih )

    Maksud dari tunduk dan patuh terhadap ketetapan-ketetapan Allah swt dan Rasul-Nya saw adalah terikat dengan hukum-hukum syara’, menyandarkan setiap perbuatan yang bersifat ikhtiyaariy hanya kepada syari’at Islam, yaitu dengan menjadikan hukum-hukum yang lima (wajib, sunnah, haram, karahah, dan ibahah) yang digali dari sumber-sumber hukum syara’ (Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ Sahabat, dan Qiyas) sebagai miqyaas (ukuran) dalam menimbang setiap gerak-geriknya. Karenanya, setiap muslim wajib mengetahui hukum syara’ untuk setiap perbuatan yang hendak dia lakukan, sebab hukum asal perbuatan adalah terikat dengan hukum syara’ (الأصل في الأفعال التقيّد بالحكم الشرعي) , di mana kelak dia akan dihisab oleh Allah swt berdasarkan hukum-hukum yang telah ditetapkan-Nya.
    فَوَرَبِّكَ لَنَسْأَلَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ * عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ [الحجر: 92، 93]
    “Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua * tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al-Hijr [15]: 92-93)

    2. Cakupan Syari’at Islam
    Syari’at Islam merupakan syari’at paripurna yang diturunkan melalui perantaraan nabi terakhir Muhammad saw, yang selalu relevan diterapkan kapanpun dan di manapun. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an yang mulia:
    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ [البقرة: 208]
    “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 208)

    Dalam menafsirkan ayat tersebut, Imam Ibnu Katsir mengatakan:
    يقول تعالى آمرًا عباده المؤمنين به المصدّقين برسوله : أنْ يأخذوا بجميع عُرَى الإسلام وشرائعه ، والعمل بجميع أوامره ، وترك جميع زواجره ما استطاعوا من ذلك .
    “Allah swt berfirman memerintahkan hamba-hamba-Nya yang beriman terhadap-Nya dan yang membenarkan Rasul-Nya, untuk mengambil seluruh simpul-simpul Islam dan syari’at-syari’atnya, melaksanakan seluruh perintah-perintah-Nya, dan meninggalkan seluruh larangan-larangan-Nya sebisa mungkin.”

    Jadi wajib bagi setiap muslim untuk menerapkan syari’at Islam secara menyeluruh. Meliputi syari’at yang mengatur hubungannya dengan Rabbnya seperti ibadah-ibadah mahdhah, syari’at yang mengatur hubungannya dengan sesamanya seperti mu’aamalah dan ‘uquubat, juga syari’at yang mengatur hubungannya dengan dirinya sendiri seperti pakaian, makanan-minuman dan akhlak. Tanpa boleh memperturutkan hawa nafsu dengan mengambil sebagian dan menelantarkan sebagian yang lain.

    Di antara syari’at-syari’at Islam ada yang tidak bisa dilakukan secara parsial oleh individu, melainkan perlu adanya seorang Khalifah atau institusi Negara Khilafah untuk melaksanakannya, misalnya syari’at hudud dan jinayat. Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) menyatakan:
    وأجمعت الأمة على أنه ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة بل أجمعوا على أنه لا يجوز إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام فلما كان هذا التكليف تكليفاً جازماً ولا يمكن الخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام وما لا يتأتى الواجب إلا به وكان مقدوراً للمكلف فهو واجب فلزم القطع بوجوب نصب الإمام .
    “Umat Islam telah bersepakat bahwa seorang rakyat tidak memiliki wewenang menerapkan hudud atas para penjahat, bahkan mereka bersepakat bahwa menerapkan hudud atas para penjahat merdeka tidak boleh kecuali hanya oleh seorang Imam (khalifah). Maka tatkala taklif (kewajiban menerapkan hudud) ini adalah bersifat pasti/harus, dan tidak ada jalan keluar dari taklif ini kecuali dengan keberadaan seorang Imam, dan apa-apa yang kewajiban tidak bisa dilaksanakan tanpanya, sedangkan ia dimampui oleh seorang mukallaf maka dia hukumnya wajib. Maka secara pasti, hal tersebut meniscayakan wajibnya mengangkat seorang Imam.”

    Hal serupa juga diungkapkan oleh Abu Al-Qasim An-Naisâbûrî (w. 406 H) dalam kitab tafsirnya:
    أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله ﴿ فاجلدوا ﴾ هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب .
    “Umat telah bersepakat bahwa pihak yang diseru dalam firman Allah swt (maka cambuklah oleh kalian) adalah seorang Imam (khalifah), hingga dengannya mereka beralasan atas wajibnya mengangkat seorang Imam. Sesungguhnya sesuatu perkara yang mana suatu kewajiban tidak sempurna tanpanya maka perkara tersebut hukumnya wajib.”

    Sampai di sini diketahui secara gamblang, bahwa penerapan syari’at secara menyeluruh tidak bisa direalisasikan tanpa adanya institusi Khilafah. Maka secara pasti, mewajibkan kaum muslim untuk mewujudkan institusi yang dimaksud demi terlaksananya seluruh kewajiban yang dibebankan di atas pundak mereka.

    3. Ketaatan Para Sahabat Terhadap Syari’at
    Para sahabat radhiyallaahu ‘anhum adalah golongan manusia utama yang Allah swt puji di dalam Al-Qur’an:
    وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ [التوبة: 100]
    “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah [9]: 100)

    Kemuliaan mereka tidak lain dikarenakan keimanan kepada Allah swt dan Rasul-Nya, dan ketaatan mereka terhadap syari’at. Hal itu tergambar dalam riwayat-riwayat berikut ini.

    عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال كنت أسقي أبا طلحة الأنصاري وأبا عبيدة بن الجراح وأبي بن كعب شرابا من فضيخ وهو تمر فجاءهم آت فقال إن الخمر قد حرمت فقال أبو طلحة يا أنس قم إلى هذه الجرار فاكسرها قال أنس فقمت إلى مهراس لنا فضربتها بأسفله حتى انكسرت .
    Dari Anas bin Malik ra, beliau berkata: “Suatu ketika aku menjamu Abu Thalhah Al-Anshari, Abu Ubaidah bin Al-Jarrah, dan Ubay bin Ka’ab minuman dari Fadhikh, yaitu perasan kurma. Kemudian ada seseorang datang kepada mereka lalu berkata: Sesungguhnya khamr telah diharamkan. Maka berkata Abu Thalhah: wahai Anas, berdiri dan pecahkanlah kendi-kendi ini!, Anas berkata: maka aku berdiri mengambil tempat penumbuk biji-bijian milik kami, lalu memukul kendi itu pada bagian bawahnya hingga kendi tersebut pecah.” (HR. Al-Bukhari)

    عن عائشة رضي الله عنها قالت يرحم الله نساء المهاجرات الأول لما أنزل الله ﴿ وليضربن بخمرهن على جيوبهن ﴾ شققن مروطهن فاختمرن بها
    Dari ‘Aisyah ra, beliau berkata: “Rahmat Allah swt atas wanita-wanita kaum muhajirin awal, tatkala Allah swt menurunkan ayat (yang artinya): “Hendaklah mereka mengulurkan kerudung-kerudung mereka ke atas dada-dada mereka” , mereka merobek kain sarung yang mereka miliki kemudian mereka berkerudung dengannya.” (HR. Al-Bukhari)

    عن ابن عباس رضي الله عنهما قال قال عمر : لقد خشيت أن يطول بالناس زمان حتى يقول قائل لا نجد الرجم في كتاب الله فيضلوا بترك فريضة أنزلها الله ألا وإن الرجم حق على من زنى وقد أحصن إذا قامت البينة أو كان الحبل أو الاعتراف . قال سفيان كذا حفظت : ألا وقد رجم رسول الله صلى الله عليه وسلم ورجمنا بعده .
    Dari Ibnu Abbas ra berkata, Umar bin Khaththab ra pernah berkata: “Sungguh aku sangat khawatir akan berlangsung masa yang begitu lama di tengah-tengah umat Islam, hingga (suatu saat nanti) akan ada yang berkata: “Kami tidak menemukan hukum rajam di kitab Allah (Al-Qur’an)”. Maka (dengan demikian) mereka menjadi sesat karena telah meninggalkan kewajiban yang telah Allah turunkan. Ketahuilah bahwa hukum rajam itu adalah benar adanya bagi siapa-siapa yang berzina sedang ia telah muhshan (telah menikah dan telah menggauli pasangannya), jika telah ada bayyinah (alat bukti berupa 4 orang saksi laki-laki atau yang setara dengannya), atau kehamilan (dipihak wanita), atau pengakuan (si pelaku).”
    Berkata Sufyan (perowi): begini yang aku hafal (dari perkataan Umar bin Khaththab): “Ketahuilah bahwa Rasulullah saw benar-benar menerapkan hukum rajam, dan kami juga menerapkannya sepeninggal Beliau.” (HR. Al-Bukhari)

    Demikian sebagian dari contoh ketaatan kaum muslim generasi awal terhadap Syari’at Islam. Mereka menerapkan hukum-hukum Allah swt secara menyeluruh baik dalam ruang lingkup individu, maupun dalam bermasyarakat dan bernegara, baik di bawah kepemimpinan Rasulullah saw langsung maupun para Khalifah setelah Beliau. Namun disayangkan, pasca runtuhnya Khilafah Islamiyyah di Turki pada tanggal 28 Rajab 1342 H atau bertepatan dengan 03 Maret 1924 M, penerapan syari’at dalam bentuk seutuhnya tidak lagi tampak dan tidak lagi bisa dilakukan, Islam hanya sebatas perkara-perkara yang bersifat ritual dan individu saja. Kondisi secamam ini menuntut kaum muslim untuk bangkit memperjuangkan kembalinya kehidupan islami, menerapkan syari’at secara menyeluruh di bawah naungan Negara Khilafah Islamiyyah. Hal ini tidak lain karena dorongan keimanan terhadap Allah swt, dan kewajiban menerapkan syari’at-syari’at-Nya.
    Rasulullah saw melalui lisan sucinya memberitakan akan adanya suatu kaum yang lebih utama dari para sahabat di atas, yakni mereka-mereka yang keimanannya, ketaatannya, dan perjuangannya untuk islam sebagaimana para sahabat radhiyallaahu ‘anhum.
    عن أبي جمعة قال : تغدينا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ومعنا أبو عبيدة بن الجراح قال فقال يا رسول الله هل أحد خير منا اسلمنا معك وجاهدنا معك قال نعم قوم يكونون من بعدكم يؤمنون بي ولم يروني
    Dari Abu Jam’ah ra beliau berkata: suatu ketika kami makan bersama dengan Rasulullah saw dan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah bersama kami, Abu Jam’ah berkata: kemudian Abu ‘Ubaidah berkata: Wahai Rasulullah saw, apakah ada orang yang lebih baik dari kami sementara kami berislam bersamamu dan berjihad bersamamu?, bersabda Nabi saw: “Ya, yaitu kaum yang datang setelah kalian, mereka mengimaniku sedangkan mereka belum pernah melihatku.” (HR. Ahmad – Shahih)
    Kelebihan mereka, mereka bariman terhadap Rasulullah saw dan apa yang beliau bawa meskipun tidak pernah berjumpa dengan beliau. Wallaahu Ta’aalaa A’lam []

    Reply
  3. Hasyir

    amin.,

    Reply
  4. Hasyir

    tentu saja politik islam jauh lebih ampuh,bila politik islam itu benar_benar mematok kepada nabi kita.Di jamin negara indonesia akan menjadi negara maju dan makmur.

    Reply
  5. tiojanet

    Pancasila merupakan bagian Kecil dari Islam
    kaum nasionalis bisa dikatakan awam Banget mengenal islam karenanya seolah olah islam itu ancaman, Islam merupakan Obat bagi setiap makhluk untuk menjalani kehidupan bersosial.mereka kekeh dal argumen yang tidak berdasar.
    islam bukanlah orang tapi islam adalah aturan, jadi lihat orang islam belum tentu Muslim. pelajari dulu aturan islam semoga ananda lebih baik dari yang anda lihat.
    pakta kegagalan sistem merupakan bukti nyata bahwa aturan sekarang sudah tidak laku lagi alias harus diganti karena penuh dengan akal bulus dan kemunafikan.
    Semoga Syari`at Islam dan Khilafah segera terwujud. AMIN

    Reply
  6. Abduh

    Tulisan ustad Ihya sudah bagus, dan dari tulisannya beliau setuju dengan politik Islam. Politik Islam dalam era sekarang saya kira memang harus memilki politik (atau dapat juga disebut Islam politik). Artinya Islam yang berpolitik, contoh sederhananya adalah partai orang-orang Islam (para Kiyai). Islam politik tak boleh dipisah dengan politik Islam. Pembedaan antara keduanya (Politik Islam dan Islam politik), tidak lain, muncul karena Islam itu sendiri ingin dikosongkan dan dikungkung dalam pesantren-pesantren dan kitab-kitab kuning yang hanya bisa dimaknani gandul tapi tidak dipraktekkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

    Jika tujuan dibentuk negara dan pemerintahan adalah keadillan, kesejahteraan, dan lain sebagainya, maka adakah syariat atau ajaran Islam yang tidak berkadilan dan tidak mensejahterakan?? (bukan oknum pelakunya lho) Bahkan lebih dari itu ajaran Islam bertujuan memberikan keadilan di dunia, dan jika tidak dapat terlaksana maka keadilan di hapadan Allah kelak di akahirat, juga kesejahteraan akhirat dengan surga keabadian. (adakah ini juga menjadi tujuan negara non-Islam).

    Tidak perlu takut dengan Istilah negara Islam dan dilawankan dengan NKRI, toh itu juga istilah yang belum jelas bentuk realnya. Namun yang jelas para ulama, kiyai (dan santri-santrinya) seharusnya memilki keinginan agar tananan negara dan pemerintahan serta kehidupan masyarakatnya adalah sesuai dengan hukum Allah (tidak tau lagi jika tidak ada hukum Allah(?). Namun yang jelas kitab-kitab kuning kita penuh dengan kata “hukum” dan “ahkam”. pertanyaannya hukum2 siapa itu?.

    Saudia (adalah mamlakah = kerajaan) Iran (Jumhuriyah = Republik) Brunai (juga kerajaan). tadi setidaknya di Iran, para “ulama, kiyai” Islam (mullah-mullah syiah) lebih punya pengaruh dibanding ulama-ulama Indonesia.

    Mungkinkah Indonesia menjadi negara republik dengan pancasilanya yang Islami. Entah bentuknya seperti apa, itu adalah tugas para kiyai dan ahli tatanegara. Intinya jangan puasa dengan kemungkina-kemungkinan yang mengatakan bahwa negara Indonesia dapat dimasukkan dalam negara Islam. Indonesia butuh perbaikan yang lebih Islami dan sesuai dengan hukum-hukum Allah Swt.

    Wassalam

    Reply
  7. kang khaery

    pak kiyai klo saya bole teliti dari tulisan pak yai,:
    1. tidak ada konsep konkrit tentang pilitk islam yang dikemukakan ,karena memang kita tidak menemukan ayat yang menyuruh nabi untuk membuat sistem / negara secara langsung, dan ayat yang disitir oleh pak yai, lebih bersifat ajaran syar’i dan nilai kebenaran yang Maha Agung,
    2. kemudian ayat kedua lebih cenderung pada penggunaan nilai-nilai keislam yang harus diterapkan dalan segala aspek, baik aspek ekonomi, politik dll.
    jadi hemat saya Islam secara langsung menyuruh ummatnya untuk membuat “Negara Islam” tidak ada, tetapi jika kita maknai Negara Islam itu adalah negara menyerap nilai-nilai keislaman saya setuju.
    Salah satu contoh : Dalam Islam(ayat wasyawirhum) sebagai ajaran tentang bagaimana sistem memilih pemimpin atau memutuskan segala masalah maka zaman Rosul dan Sahabat memakai nilai ini, tetapi Bani Umayah dan khilafah sesudahnya tidak memakai ini, maka jika kemudian “kekhalifahan sebagai” representasi Islam itu Salah.
    Oleh sebab itu saya setuju jika kita berpolitik harus sesuai nilai-nilai Islam yang Maha Luhur

    Reply
  8. sulthon

    Assalamu’alaikum
    Apa yang diungkapkan oleh ustaz Ihaya’ hanya sekedar dipermukaan. Maksudnya tidak dengan jelas memberikan apa yang disebut politik islam. Sebelumnya perlu diketahui juga tentang istilah yang dibedakan banyak orang antar pilitik islam dan islam politik. Anggapan bahwa islam mempunyai ajaran yang kaffah sebenarnya ambigu. karena banyaknya perdebatan tentang islam. politik misalnya, apa jenis negara yang ditetapkan islam? seperti saudi,brunai,iran atau apa? Hazanah islam klasik tentunya belum banyak mengeksplor masalah ini. Buku As-siyasah as-syar’iyah milik Dr. Yusuf Qardlowy hanya memberikan garis besar yang sangat mungkin memasukkan indonesia sekarang ini sebagai syar’iy. Dan perlu diingat, negara islam tidak menjamin keadilan dan kemakmuran. bisa dilihat dari fakta sejarah dan fakta. Ibn Khaldun dalam Muqoddimah-nya mengatakan:”apabila keadilan,keamanan bisa berjalan tanpa syariat maka bagus tetapi bila bisa dengan syari’at maka lebih bagus. Itu mengimplikasikan tidak harusnya negara diberi label islam tetapi bagaimana tujuannya bisa didapat. ini tentunya beda dengan masalah ‘ubudiyah yang wasilahnya pun diluar jangkuan manusia.

    Reply
  9. Nur

    Politik yang sedang berjalan di Indonesia, apakah politik Islam ataukah politik non-Islam (yang memesiahkan antara agama dan dunia)?

    Negara Islam, saya kira, tidak identik dengan khilafah. Tapi negara Islam memang harus ada untuk memberikan ruang kepada ajaran2nya agar bisa diterapkan. Apa yang kita pelajari dalam kitab2 fiqih sering tidak sesuai dengan hukum dan undang2 negara. (ini perlu kita sadari).

    Reply
  10. admin

    apa mungkin yang ditanyakan khilafah? kalo itu bisa dicari di http://www.nu.or.id, Insya Allah lengkap. kalau ingin tanggapan dari para pengujung yang lain bisa post di forum.

    Reply
  11. masaji

    Assalamualaiku….

    Maaf Ustadz, mohon bisa di jelaskan soal syarat & rukun negara Islam dan hukum kita yang berada pada negara yang tidak memakai dasar Al qur’an dan hadist itu gimana?

    terima kasih atas penjelasannya.
    wassalamualaikum

    Reply

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Komentar

Posting Populer