Dari generasi ke generasi, Pondok Pesantren Langitan telah menelurkan puluhan bahkan ratusan ribu santri. Hal tersebut tak mungkin ada tanpa bimbingan seorang pengasuh. Dari yang pertama sekaligus pendiri, KH. Muhammad Nur, kemudian KH.Ahmad Sholeh, KH. Muhammad Khozin, KH. Abdul Hadi, KH. Ahmad Marzuqi, KH. Abdullah Faqih, dan kini diserahkan kepada kepengasuhan kolektif menjadi Majelis Masyayikh.
Majelis Masyayikh tersebut berisikan 7 masyayikh Pondok Pesantren Langitan, yaitu: KH. Abdullah Munif Marzuqi, KH. Ubaidillah Faqih, KH. Muhammad Ali Marzuqi, KH. Muhammad Faqih, KH. Abdullah Habib Faqih, KH. Abdurrahman Faqih, dan KH. Ma’shum Faqih. Namun, saat awal bulan Muharram 1445 H kemarin, takdir melakukan tugasnya, KH. Abdullah Munif Marzuqi yang merupakan masyayikh tertua dari masyayikh yang lain itu dipanggil oleh Sang Kuasa. Ribuan manusia mengalirkan air mata atas kepergiannya.
Kelahiran
Sabtu, 23 Januari 1954 M/ 18 Jumadil Ula 1373 H lahir sosok bayi dari pasangan bahagia KH. Ahmad Marzuqi Zahid dan Nyai Halimah Zaini. Ia diberi nama dengan Abdullah Munif, dan diikuti dengan sandaran nama ayahnya, menjadi Abdullah Munif Marzuqi. Beliau merupakan putra ketiga dari sembilan bersaudara, yakni: Ning Khalifah (meninggal saat kecil), Nyai Muflihah, KH. Abdullah Munif, Nyai Faizah, KH. Muhammad Ali, Nyai Mahmudah, Nyai Nihayatus Sa’adah, Nyai Shofiyah, dan Nyai Masrurah.
Masa kecil beliau tumbuh di lingkungan religius Pondok Pesantren Langitan. Beliau belajar kepada KH. Abdul Hadi Zahid (selaku paman yang mengasuh pondok kala itu), KH. Ahmad Marzuqi Zahid (ayah beliau), dan juga kepada KH. Abdullah Faqih (sepupu).
Sebagai putra seorang kiai, Kiai Ahmad Marzuqi mewariskan gen cinta ilmu pada Kiai Munif, hingga kemudian mengantarkannya meneruskan studinya di beberapa pesantren. Kiai Munif mengawali perjalanan itu ke arah barat menuju Pondok Pesantren Al-Hidayah Lasem yang saat itu diasuh KH. Ma’shum.
Di sini, Kiai Munif sering kali mengalami telat kiriman. Terkadang kirimannya terlebih dahulu dititipkan kepada sopir bus yang menuju ke sana. “Pernah abah cerita itu dititipkan ke sopir bis. Jadi saking tawakkalnya Mbah Mad, sangu itu dititipkan,” kenang Gus Zahid. Meskipun akhirnya sampai, hal tersebut menjadi salah satu faktor telatnya kiriman beliau.
Beliau kemudian bertolak menuju Pondok Pesantren Al-Falah Ploso-Kediri di bawah asuhan KH. Djazuli. Di sana beliau menimba ilmu kurang lebih selama 3 tahun terhitung sejak 1975 hingga 1978 M. Di tiga pesantren inilah−Langitan, Lasem dan Ploso−beliau mendalami ilmu gramatika bahasa Arab seperti Alfiyah, dan beberapa fan ilmu lainnya.
Menurut penuturan Kiai Idris Hamid Pasuruan, KH. Abdullah Munif juga sering kali mondok pasaran (saat Ramadhan) kepada abahnya, yaitu Mbah Hamid Pasuruan.
Kurang puas untuk melepas dahaga keilmuan, di tahun 1981 M Kiai Munif kemudian berangkat ke Mekkah untuk berguru kepada Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani di Rushaifah. Beliau belajar sekaligus membantu bersih-bersih ndalem dan seringkali memijat sang guru. Selama hampir 4 tahun, Kiai Munif menimba ilmu dari sosok ulama terkemuka itu.
Menikah
Sepulang dari Mekkah, KH. Munif Marzuqi kembali ke pesantren Langitan. Kemudian saat usia 31 tahun, KH. Abdullah Munif menikah dengan Ibu Nyai Lilik Qurratul Ishaqiyah (putri KH. Minanurrahman Al-Ishaqi Jatipurwo Surabaya). Setelah beliau melamar Ibu Nyai Qur 2 tahun sebelumnya. Saat itu Kiai Minan tidak menolak lamaran Kiai Munif, namun hanya menyarankan mencari lagi jodoh yang lebih siap.
Di dalam pencariannya, Kiai Munif mendapatkan isyarah dengan bermimpi mendapatkan ikan Mas yang sangat bagus saat memancing, namun sayang ikan tersebut terlepas. Dalam hati Kiai Munif, “Ah, mungkin nanti datang sendiri.” Dan ternyata betul, ikan Mas itu tiba-tiba meloncat masuk ke perahu beliau.
Ini merupakan bentuk isyarah beliau dalam mendapatkan Ibu Nyai Qur, karena selang beberapa waktu, Kiai Munif dipanggil dan ditanya oleh Kiai Minan, “Piye, wes entuk jodoh dorong?” “Dereng,” jawab Kiai Munif. Dari situ kemudian akhirnya Kiai Munif dijodohkan kembali dengan putri Kiai Minan.
Saat istikharah terkait perjodohan Kiai Munif, Kiai Minan bermimpi melihatnya membawa kitab dan mengelilingi langgar (mushala) yang di dalamnya banyak orang mengaji. Entah kenapa, akhirnya istikharah itu mengantarkan Kiai Minan pada persetujuan.
Terdapat satu kisah populer yang sebenarnya belum diketahui pasti apa maksudnya, di mana saat wafatnya KH. Abdul Hadi Zahid, KH. Utsman Al-Ishaqi (kakek Ibu Nyai Qur) datang berziarah ke Pondok Pesantren Langitan. Saat bersalaman, Kiai Munif yang saat itu berusia 17 tahun kemudian diberi karet gelang oleh Kiai Utsman, meski tidak diketahui tujuannya, karet gelang itu tetap disimpan oleh Kiai Munif hingga menikah.
Kepada sang istri dan menantunya (Ning Indah Ashilah), Kiai Munif sering menceritakan perihal cerita itu. Karet gelang pemberian Kiai Utsman ini disimpan dalam sampul buku hingga lengket dan baru ditunjukkan oleh beliau setelah menikah.
KH. Abdullah Munif Marzuqi kemudian dikaruniai 7 keturunan, yaitu: Ning Laily Dzatinnuha, Ning Arinil Haqqa, Agus Muhammad Zahid Hasbullah, Ning Robi’ah, Agus Muhammad Shofwatul Haq, Ning Salwa Khodijah dan terakhir Agus Ahmad Abdul Basith.
Peran
Dalam urusan Madrasah di Langitan, Kiai Munif mewarisi peranan abah dan pamannya dalam menggagas Madrasah Al Falahiyah. Pertama-tama beliau mendapat amanah menjaga keuangan madrasah, dengan menjadi bendahara. Kemudian naik menjadi kepala sekolah. Hingga wafatnya, Kiai Munif tercatat menjabat sebagai Mudir atau Direktur Madrasah Al-Falahiyah. Di mana, setiap perubahan dan kebijakan yang ada dalam madrasah, terlebih dahulu dimusyawarahkan dan dipertimbangkan bersama beliau.
Dalam urusan infrastruktur pondok, KH. Munif pun mempunyai perhatian lebih. Mulai dari bangunan asrama, gorong-gorong, sampai kepada sirkulasi air dan listrik. Semuanya tak luput untuk diperhatikan. Dalam setiap pembangunan atau renovasi, Kiai Munif diminta menjadi penasihat atau rujukannya, seperti Darul Furqon, Ribath Al-Bukhori, Madrasah Al-Falahiyah, Kantor Aam, dsb.
Wafat
Bumi Langitan berselimut duka kala sang tercinta dijemput ajalnya. Kamis, 20 Juli 2023 M/ 2 Muharram 1445 H pukul 15.55 WIB, pondok terbesar di Tuban itu kehilangan sosok pengasuhnya, KH. Abdullah Munif Marzuqi. Beliau wafat di usia 69 tahun menurut penanggalan Masehi dan usia 71 tahun menurut penanggalan Hijriah, setelah dirawat di Rumah Sakit Holistic Purwakarta.
Jenazah beliau dishalati di Mushala Agung PP. Langitan hingga 10 gelombang. Puluhan ribu pelayat, habaib, ulama, dan tokoh nasional lainnya ikut melayat dan turut berduka cita atas kepergian beliau. Puluhan ribu manusia tumpah ruah mengiringi jenazah KH. Abdullah Munif Marzuqi menuju peristirahatan terakhirnya, hingga jalan nasional Lamongan -Tuban berdampak ditutup.
Kurang lebih selama satu tahun setengah beliau sering pulang-pergi ke rumah sakit. Meski sebetulnya setengah tahun itu beliau sudah sakit tapi tetap ditahan. Kiai Munif memang tipe orang yang tidak suka dan tidak betah di rumah sakit. Sekalipun dokter menawarkan rawat inap, beliau meminta untuk rawat jalan di rumah. Namun akhirnya di akhir masa hidup beliau, tiba-tiba beliau sendiri yang menginginkan untuk dirawat di Purwakarta sebagaimana saran KH. Ahmad Tajul Mafakhir (Pengasuh PP. Roudlotul Muttaqin), mengingat KH. Masbuchin Faqih (Pengasuh PP. Mambaus Sholihin) yang juga pernah dirawat di sana.
Saat Gus Mad (putra beliau) pulang dari Purwakarta, Kiai Munif mengijazahkan wirid yang beliau dapatkan dari Abuya. Kamis pagi saat Kiai Munif masuk ICU, para santri diminta untuk ikut membacakan wirid tersebut. Sebelumnya, Kiai Munif pernah berkata pada keluarganya, “Aku kalau sudah Kamis (atau) Jumat, itu sudah siap.”
Tanggal 17 Mei, Kiai Munif meminta Gus Zahid dan Gus Mad untuk menuliskan wasiat-wasiatnya, seperti warisan dan lainnya. Kiai Munif juga telah mengumpulkan keluarganya, berwasiat untuk selalu bertakwa, Wattaqullaha haitsuma kunta, selalu guyub rukun, dan senantiasa berhusnuzan.
Penulis: M. Abdullah Al Faiq
Sumber: Majalah Langitan Edisi 107
0 Comments