Sebagai makhluk sosial yang tak bisa lepas dari sesama, tentu dalam berinteraksi akan ditemukan beragam watak manusia yang bemacam-macam. Baik itu terpuji maupun tercela. Dan tolak ukur akan buruk atau baiknya karakter setiap orang terdapat pada hati mereka.
Rasulullah Saw pernah bersabda:
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ. أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati” (HR. Imam Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).
Dengan bertendensi pada hadits diatas, patutlah kita meningkatkan kewaspadaan akan kesehatan hati kita. Kesehatan hati sendiri itu dapat ditinjau dari sifat-sifat yang bersemayam dalam hati seseorang. Jika sifat tersebut merupakan sifat yang baik, maka harus tetap dipelihara. Namun apabila, sifat yang tidak terpuji, maka bersegeralah untuk membersihkannya.
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghozali menyebutkan sepuluh sifat tercela yang sudah sepatutnya hati kita terbebas dari kesemuanya itu. Dalam kitab tersebut beliau menulis:
وَيَكْفِيهِ مِنَ الْمَهْلِكَاتِ النَّظَرُ فِي عَشَرَةٍ – فَإِنَّهُ إِنْ سَلِمَ مِنْهَا سَلِمَ مِنْ غَيْرِهَا – وَهِيَ: الْبُخْلُ، وَالْكِبْرُ، وَالْعُجْبُ، وَالرِّيَاءُ، وَالْحَسَدُ، وَشِدَّةُ الْغَضَبِ، وَشَرُّ الطَّعَامِ، وَشَرُّ الْوِقَاعِ، وَحُبُّ الْمَالِ، وَحُبُّ الْجَاهِ.
“Di antara hal-hal yang merusak, cukup baginya untuk memperhatikan sepuluh hal ini, -karena jika ia aman dari hal-hal tersebut, maka ia aman dari hal-hal yang lain-, yaitu: kikir, kesombongan, kemunafikan, iri hati, amarah yang hebat, rakus akan makanan, tamak akan hubungan badan (nafsu birahi), cinta uang, dan gila jabatan.”
Kikir
Kikir atau pelit adalah sikap perhitungan terhadap harta benda. Ciri utama orang yang mempunyai sifat ini adalah cinta harta dan begitu egois. Di samping itu, kikir juga ditandai dengan menahan hak orang lain, baik dalam bentuk uang, makanan, dan sebagainya.
Sebagai gambaran adalah orang yang enggan mengeluarkan zakat. Keengganan ini masuk sifat kikir sebab menahan hak orang lain berupa harta yang seharusnya menjadi bagian mereka yang berhak menerimanya.
Sombong
Dalam literatur Arab, sifat yang satu ini lebih populer dengan kata takabur. Sifat ini umumnya lebih melekat kepada orang yang mempunyai kelebihan. Entah itu berupa harta, jabatan, keelokan paras ataupun lainnya. Sifat ini begitu tercela, karena sifat sombong hanya pantas dimiliki oleh Allah SWT, sebab Allah adalah Sang Pencipta sedangkan manusia hanyalah salah satu ciptaan-Nya. Lantas apakah pantas seorang makhluk bersikap seperti Kholiq?
Munafik
Munafik dahulu kala identik dengan mereka yang berpura-pura mengikuti ajaran agama Islam, namun hati mereka sesungguhnya memungkirinya. Jika mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), munafik adalah suatu upaya berpura-pura percaya ataupun setia kepada agama dan lainnya, tetapi nyatanya dalam hatinya tidak demikian. Mereka kemudian selalu mengatakan sesuatu yang tak sesuai dengan perbuatannya serta bermuka dua. Dalam hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari disebutkan:
آيَة الْمُنَافِق ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اُؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda-tanda orang munafik ada tiga, yaitu (1) ketika berbicara ia dusta, (2) ketika berjanji ia mengingkari, dan (3) ketika ia diberi amanat ia berkhianat).
Iri Hati
Iri, Dengki, atau Hasud adalah emosi yang terjadi ketika seseorang tidak memiliki kualitas superior, prestasi, atau kepemilikan. Mudahnya sifat ini disingkat SMS, Senang Melihat orang lain Susah dan Susah Melihat orang lain Senang. Analoginya adalah ketika ada seorang teman anda misalnya, mendapat sebuah nikmat, tiba-tiba hati anda merasa tidak suka dan berharap nikmat yang didapat teman anda segera sirna, atau tatkala teman anda tertimpa musibah dan hati anda merasa gembira akan hal itu, maka berhati-hatilah!, mungkin hati anda telah terjangkit penyakit iri.
Pemarah
Dalam terminologi Arab marah disebut ghadab. Ghadab adalah istilah yang sering diartikan sebagai benci kepada seseorang. Secara teknis, marah atau ghadab adalah emosi yang terjadi akibat ketidaksenangan terhadap suatu keadaan atau perilaku benci, dendam, dan iri terhadap seseorang yang diwujudkan dengan cara menyakiti atau melampiaskan emosi.
Menurut Imam al-Qurthubi dalam kitab Tafsir al Jami li Ahkami al-Quran, ghadab adalah marah yang diwujudkan dengan anggota tubuh seseorang. Orang yang berada dalam fase ini akan mengeluarkan kata-kata yang keji. Sifat ini dapat diartikan sebagai sikap lanjutan atas iri ataupun dengki dengan melampiaskan lewat emosi, baik itu berupa perkataan yang kasar ataupun perbuatan fisik lainnya.
Rakus
Rakus bermakna ketamakan dan keinginan yang berlebihan terhadap sesuatu. Dalam agama Islam, rakus merupakan sikap yang tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Penyakit ini begitu berbahaya sebab dapat menjerumuskan seseorang pada perilaku yang tidak terpuji dan melalaikan urusan akhirat. Apalagi rakus akan makanan akan membuat orang malas dalam menjalankan ketaatan. Dalam sudut bermasyarakat yang notabene dituntut untuk mudah berbagi kepada sesama, adanya sifat ini tentu akan merugikan, karena bila semua orang sudah terjangkit penyakit ini, maka seseorang akan menjadi egois yang berakibat melemahnya rasa persaudaraan sesama muslim. Dan jika hal ini sampai terjadi, maka tidak lama umat muslim akan dapat dihancurkan.
Nafsu Birahi
Menurut Wikipedia, frasa “hawa nafsu” tersusun dari kata “hawa” dan “nafsu” yang keduanya merupakan serapan dari bahasa Arab. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), secara etimologi kata “nafsu” memiliki beberapa makna, di antaranya: keinginan, kecenderungan, atau dorongan hati yang kuat; gairah; atau meradang. Bila ditambah dengan kata “hawa” menjadi “hawa nafsu”, maka bermakna dorongan hati yang kuat untuk berbuat kurang baik. Idiom “hawa nafsu” dibedakan dari istilah “syahwat” yang secara spesifik dikaitkan dengan nafsu atau keinginan untuk bersetubuh.
Cinta Harta dan Gila Jabatan
Pada dasarnya dua hal ini cukup berkaitan. Hubungan keduanya terdapat pada orang yang gila jabatan itu pasti cinta harta. Namun kata-kata ini tidak dapat dibalik, sebab tidak semua yang cinta harta itu gila jabatan. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya konglomerat, miliarder ataupun jutawan yang hanya sibuk berkutat di dunia bisnisnya tanpa memilih ikut dalam perebutan kursi kepemimpinan. Sementara, orang yang gila jabatan pasti cinta harta itu begitu relevan di negeri kita, sebab orang-orang yang berhasil dalam percaturan politik biasanya akan menggunakan tangan besi demi meraup harta sebanyak-banyaknya.
Pada akhirnya, gajah dipelupuk mata tak tampak sedangkan semut diseberang samudera tampak, menjadi begitu relevan dengan situasi saat ini. Maka, daripada kita saling menunjukkan telunjuk kita kearah orang lain, lebih baik kita koreksi diri kita sendiri dan secara bertahap mulai memperbaikinya. Wallahu A’lam.
Penulis: Ubaid Ar-Rahman
Editor: Mahirur Riyadl
0 Comments