Oleh: Muhammad Hasyim *)
Jutaan pasang mata melelehkan air mata atas kepergian cendekiawan muslim yang telah merumuskan Fiqih Akhir Zaman. Ratusan ribu manusia menghantar kepergian Sang Mufakir Abad ke-21. Karena sesaknya lautan manusia jenazah tidak perlu dibawa tapi merantai dari tangan-tangan yang berharap berkah menuju peristirahatan terakhir.
Beliau adalah Habib Abu Bakar Al-Adni bin Ali al-Masyhur, menutup usia pada 27 Juli 2022 dalam usianya yang ke-75 tahun. Beliau termasuk sedikit dari kalangan ulama yang diberi anugrah futuh ilmu masa depan (future science). Di satu sisi, beliau hidup dalam bi’ah (lingkungan) salaf yang sangat ketat dalam memegang syariat agama Islam. Dengan dua komparasi tradisi, salaf dan future science maka beliau berhasil merumuskan Fiqih Transformatif yang mengkaji tentang perubahan-perubahan kondisi masyarakat dari terciptanya manusia sampai akhir masa (kiamat). Teori-teori ini beliau kumpulkan dalam sebuah term “Fiqih Transformati” atau yang lebih dikenal dengan istilah “Fiqih Tahawulat”.
Sebelumnya, barangkali sebagian besar dari kita hanya memahami tiga konsep dalam beragama, yaitu: islam, iman dan ihsan. Namun al-Habib Abu Bakar al-Adni menambahkan satu konsep lagi: mengetahui tanda-tanda kiamat. Rukun keempat itulah yang menjadi dasar bagi beliau untuk merumuskan kaidah-kaidah dalam Fiqih Tahawulat.
Beliau menjelaskan bahwa tiga rukun yang pertama bersifat baku (sawabit), tidak akan berubah sepanjang zaman; sedangkan yang terakhir bersifat mutaghaiyirat, transformatif, dinamis mengikuti masa dan segala perubahan yang terjadi di dalamnya. Fiqih Tahawulat, secara khusus, merujuk pada ketetapan Al-Qurán dan Sunnah tentang kejadian-kejadian di masa lalu dan masa depan yang akan terjadi sebagai penanda semakin dekatnya akhir masa (yaumul qiyamah).
Dalam keyakinan beliau, umat manusia akan senantiasa menghadapi fitnah, dalam bentuk dan ragam yang terus berubah, sampai datang hari kiamat. Karena itu, sangat penting bagi umat Islam untuk memahami pola, indikasi dan pengetahuan untuk menghindarinya. “Tidak sedikit dari kalangan ulama yang terjebak menjadi kaki tangan iblis dan dajjal tanpa mereka sadari hanya karena mengabaikan hal itu,” kata Beliau.
Ulama Dua Dimensi
Beliau lahir di Kota Ahwar, Provinsi Ahdan, bagian dari Yaman Selatan pada tahun 1366 H/1947 M. Ilmu syariat dan akhlak mulia adalah dua hal, yang beliau kenang, menjadi prioritas utama kedua orang tua dalam mendidik beliau. Dalam usia yang masih sangat muda beliau sudah menghafal 30 Juz Al-Qurán dengan sanad dari guru-guru utama di wilayah Hadramaut dan Aden.
Sebelum pindah ke Arab Saudi, Beliau sempat menyelesaikan kuliah di Universitas Aden dan berazam untuk melanjutkan ke Universitas Al-Azhar, Mesir. Namun keinginan itu tidak pernah terlaksana, sebab orang tua beliau menghendaki beliau belajar kepada Habib Abdul Qadir bin Ahmad As-Segaf, ulama kaliber dunia yang masyhur ke-quthb-annya.
Meskipun begitu tidak setitik pun terbersit dalam benak beliau rasa kecewa atau sikap pembangkangan. Justru, di bawah bimbingan Habib Abdul Qadir, beliau mendapatkan curahan ilmu lahir dan batin, dan merasakan adanya irtibath atau pertalian ilmu yang begitu kuatnya, sehingga membuka mata hati beliau untuk menerima limpahan ilmu-ilmu ilahiyah.
Dari sinilah terbuka hijab-hijab pengetahuan sehingga memiliki sebuah pandangan yang mendalam dari suatu masalah. Fiqih Tahawwulat adalah salah satu sudut pemikiran beliau yang unik dan mendalam. Keberanian untuk memunculkan term-term baru dengan dasar-dasar yang kuat menjadi bukti keluasaan ilmunya.
Anugrah tersebut kemudian menjadikan beliau kokoh dalam posisinya sebagai ulama dua dimensi: salaf dan ashriyah sekaligus. Pada satu sisi beliau begitu kuat berpijak pada tradisi keilmuan leluhur –sebagaimana rumusan beliau tentang Madrasah Abawiyah- dan di sisi lain juga mampu melahirkan gagasan-gagasan futuristik yang melampaui zamannya.
Menghindar dari Fitnah
Saat menginjak usia remaja, pergolakan politik di Yaman sampai pada titik puncaknya, di mana pemerintahan jatuh kepada kelompok anti Tuhan yang terang-terangan membenci para ulama. Oleh karena itu, fitnah-fitnah keji begitu nyata beliau alami, menjadi sajian dari kepahitan hidup beliau sehari-hari. Dalam kitab al-khuruj min dairatul hamra, Beliau melukiskan, dengan bait-bait syair, bagaimana tekanan dan intimidasi itu sepanjang waktu harus mereka terima, hingga beliau memutuskan untuk keluar dari Yaman, hijrah menuju Tanah Hijaz.
Apa yang beliau alami di Yaman saat itu tak ubahnya seperti yang dialami oleh al-Imam al-Muhajir Ahmad bin Isa di Basrah. Imam Muhajir tidak menuruti dorongan emosionalnya dalam mengambil sikap. Beliau berpegang pada Sunah dan memutuskan untuk hijrah ke Hadramaut. Begitu pula yang dilakukan oleh Faqih al-Muqaddam yang pada masanya banyak terjadi perselisihan dengan menggunakan senjata. Kemudian beliau mengambil jalan sunyi melalui jalur sufi-asketisme.
Dengan berpegang pada kaidah fiqih tahawulat, beliau yakin, umat Islam tidak akan mengalami kesulitan dalam bertindak dan menyikapi berbagai persoalan yang timbul saat ini. Itulah yang kemudian beliau sebut dengan istilah Sunnah al-Mawaqif, yaitu tata cara bersikap dan bertindak berdasarkan ketetapan Baginda Nabi Saw, dengan mengedepankan kemaslahatan bukan dorongan nafsu atau trend.
Dengan gagasan fiqih tahawulat Beliau ingin mengubah presepsi sementara umat Islam yang beranggapan bahwa kajian terhadap tanda-tanda kiamat akan menimbulkan kepanikan dan sikap pesimistis berlebihan dalam memandang masa depan. Sebaliknya, hal itu justru akan menjadi pelindung dan senantiasa menjaga umat Islam dari akibat-akibat negative tersebut.
Tujuh Protokol Menyambut Hari Kiamat
Di antara pesan Habib Abu Bakar dalam Fiqih Tahawulat –seperti yang tertulis di kitab al-Nughdah al-Sughra; li ma’rifah al rukn al rabi’ min arkan ad-din wa alamah al kubra wa al wustha, al-sughra –bahwa untuk menghadapi hari akhir dibutuhkan tujuh sikap, agar kita tidak terjebak pada keremangan-keremangan zaman. Pesan ini berdasarkan analisa atas apa yang disampaikan oleh Baginda Nabi Muhammad Saw: “Segeralah beramal sebelum kedatangan tujuh hal, tidaklah kalian menunggu selain kefakiran yang membuat lupa, kekayaan yang melampaui batas, penyakit yang merusak, masa tua yang menguruskan, kematian yang menyergap tiba-tiba (secara bersama-sama), Dajjal, seburuk-buruk hal gaib yang dinanti-nanti, kiamat dan kiamat itu sangat membawa petaka dan sangat pahit.”
Berdasarkan Hadist tersebut, Beliau merumuskan tujuh gerakan inisiatif dan antisipatif, yang dalam tulisan ini, kami sebut sebagai protokol kiamat. Berisi tentang hal-hal yang harus dikerjakan baik secara individu maupun kolektif untuk menghadapi fitnah akhir zaman.
Pertama, berusaha menangani kefakiran. Kondisi serba kekurangan, bagi kebanyakan orang, akan membuat lupa dan menjauh dari ajaran agama. Kefakiran, kita tahu, bukan hanya disebabkan karena kemalasan bekerja, tapi lebih banyak akibat kebijakan ekonomi parasit yang hanya berpihak pada sebagian kecil orang, dan merugikan yang lain.
Menurut beliau hal itu bisa ditangani dengan cara membagikan zakat, wakaf, sedekah untuk menjamin kehidupan orang yang benar-benar berhak menerimanya; membangun solidaritas antara sesama; membentuk sinergi yang positif antara pemerintah dan rakyat; mewujudkan kemandirian ekonomi tiap individu dengan cara memperhatikan perkebunan dan memelihara hewan ternak, sebagaimana dijelaskan oleh Baginda Nabi Saw dalam hadits Muslim: “Barang siapa memiliki kambing, hendaklah menyusul (red: memelihara) kambingnya; barang siapa memiliki tanah, hendaklah menyusul (red: menggarap) tanahnya.” Persoalan (kefakiran yang membuat lupa) ini telah menjadi jelas di zaman sekarang, sehingga sudah bukan rahasia lagi bahwa para sekutu iblis berusaha menyeru manusia untuk mengabdi kepadanya dengan cara menciptakan krisis ekonomi secara global.
Kedua, berusaha menangani kekayaan yang melampaui batas. Kita tahu, pada zaman ini, pola kehidupan matrealistis dan hedonis telah merambah hampir ke seluruh lapisan masyarakat. Menurut beliau cara yang tepat untuk menangani hal tersebut ialah dengan cara merombak sistem ekonomi riba. Selain itu, masyarakat harus bisa mendorong pemerintah untuk mengeluarkan regulasi yang sehat, guna melindungi masyarakat dari tindak kesewenang-wenangan perusahaan besar, juga mengalihkan dana investasi untuk pengembangan sektor pertanian, peternakan dan produksi-produksi lain yang dikelola oleh masyarakat di pedesaan.
Ketiga, antisipasi adanya penyakit yang merusak tubuh dan jiwa masyarakat. Menurut beliau, ada dua jenis penyakit yang dewasa ini telah berjangkit pada masyarakat, yaitu penyakit maknawi seperti praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dan penyakit hissi, yang menyerang anggota lahir. Untuk membereskan yang pertama harus dilakukan revolusi mental yang menyeluruh –dari hulu ke hilir –untuk membangun birokrasi yang sehat dan sepenuhnya berorientasi pada pengabdian kepada masyarakat. Sedangkan untuk menangani yang kedua bisa dilakukan secara individu maupun kolektif. Secara individu setiap orang harus memperhatikan pola makan dan menjaga kebersihan diri sesuai dengan ketentuan syariat tentang bersuci dan menerapkan kebiasaan fitrah. Sedangkan secara kolektif dapat dilakukan dengan mendorong pemerintah untuk membangun sistem jaminan kesehatan masyarakat.
Keempat, antisipasi datangnya masa tua yang melemahkan. Kesibukan kerja terkadang bisa membuat sebagian orang tidak punya waktu untuk mengurus orang tua mereka yang sudah tidak berdaya. Persoalan tersebut dapat memicu penelantaran dan sikap durhaka yang nyata dicela oleh agama. Persoalan itu, antara lain, dapat ditangani dengan mengampanyekan, secara massif, gerakan berbakti kepada orang tua. Juga dengan mendorong pemerintah mengucurkan anggaran yang proporsional bagi jaminan sosial, melakukan donasi untuk menyejahterakan yayasan dan panti asuhan bagi orang jompo dan juga anak yatim.
Kelima, antisipasi terhadap datangnya kematian yang menyergap tiba-tiba, yaitu kematian secara bersama-sama dengan menggunakan alat pembunuh yang modern seperti ledakan, bom sabuk dan lain sebagainya. menangani hal tersebut dengan cara menyebarkan pemahaman perdamaian, mendorong pemerintah untuk menghentikan peperangan, meredam konflik berdarah antar golongan, menegakkan keadilan dan supremasi hukum, juga menihilkan sarana yang berpotensi digunakan untuk penghasutan, provokasi dan adu domba.
Keenam, berupaya menghadapi kemunculan Dajjal yang membawa kerusakan pada alam semesta. Fitnah agung yang kemungkinan timbul dari munculnya Dajjal dapat ditanggulangi dengan cara menyebarkan pemahaman terhadap fiqih tahawwulat dan ilmu tanda-tanda kiamat.
Ketujuh, menyiapkan bekal demi datangnya kiamat. Kiamat di sini memasukkan yang sughra (kematian individu) dan kiamat pada alam semesta. Cara mengantisipasinya ialah dengan mempersiapkan diri sebaik mungkin, dengan melakukan sebanyak mungkin amal shaleh, mengerjakan perintah dan menjauhi apa yang dilarang, serta bersegera kembali (tobat) kepada Allah Swt.
Kiamat pasti akan terjadi tapi dengan menyiapkan tujuh langkah tersebut, paling tidak dapat menjadi langkah antisipatif dan menyelamatkan kehidupan kita dari fitnah-fitnah akhir zaman.
*) Direktur Media Dakwah Langitan
0 Comments