Nama lengkap beliau adalah KH. Quhwanul Adib Munawwar Kholil, salah satu Masyayikh dan A’wan Pon. Pes. Langitan, yang dikenal Faqih, sufi, dan penekun kitab-kitab klasik. Dibawah ini akan disajikan biografi singkat beliau.
Masa Kecil
Beliau lahir di Grobogan, 25 Juli 1964 dari pasangan bahagia KH. Munawwar Kholil dan Nyai Hj Maslamah. Kiai Adib dibesarkan di lingkungan religius Ayah beliau merupakan pendiri Pondok Pesantren. Al-Maram, Manduran, Grobogan, Jawa Tengah. Oleh karena itu, masa muda beliau dihabiskan untuk mengaji kepada sang ayah KH. Munawwar Kholil.
Sejak kecil, Quhwanul Adib muda dikenal sebagai anak yang patuh terhadap kedua orang tua. Apapun yang dikatakan orang tuanya, ia pasti mematuhinya, terutama kepada ibu. Suatu saat, Quhwanul Adib muda ingin sekali berangkat mondok. Kehausannya akan ilmu membawanya ingin segera menimba ilmu di pesantren-pesantren lain. Namun, sang ayah, KH. Munawwar Kholil tidak mengizinkannya, sang ayah lebih memilih untuk mematangkan intelektualitas Quhwanul Adib muda terlebih dahulu sebelum ia berangkat mondok, dan Quhwanul Adib muda pun menurutinya. Hal itu terbukti, tahun demi tahun, kemampuan intelektualitas Quhwanul Adib muda bertambah, bahkan ia kerap kali menggantikan sang ayah untuk memimpin pengajian di depan masyarakat umum. Hingga pada umur 21 tahun, sang ayah mengizinkan Quhwanul Adib muda untuk memulai pengembaraan ilmunya ke pesantren-pesantren di pulau Jawa.
Ber-tabarruk dari Satu Pesantren ke Pesantren Lain
Quhwanul Adib muda memulai pengembaraan ilmunya di Pondok Pesantren asuhan Kiai Abul Fadhol Senori Tuban, salah satu ulama Nusantara yang mendunia melalui karyanya. Beliau mengaji kepada Mbah Fadhol tidak lama, hanya sampai khatam kitab Fath al-Qorb, setelah itu beliau melanjutkan pengembaraan ilmunya ke Pondok Pesantren Al-Fadhlu, Kaliwungu, Kendal asuhan KH Dimyathi Rois.
Ada kisah unik sebelum KH. Quhwanul Adib memutuskan untuk mengaji kepada KH. Dimyathi Rois, sebagaimana diceritakan oleh Gus Abdur Rouf, putra beliau. Suatu saat, Quhwanul Adib muda sowan kepada KH. Dimyathi Rois. Namun, belum sempat berkata apa-apa KH. Dimyathi Rois sudah dapat membaca hati Kial Quhwanul Adib Mendapati hal itu, Quhwanul Adib muda pun mantap untuk melanjutkan pengembaraan ilmunya di PP. Al-Fadhlu, Kaliwungu.
Setelah bertahun-tahun beliau mondok di PP. Al-Fadhlu wal Fadhilah, Kaliwungu. Kiai Adib pun melanjutkan pengembaraan ilmunya dengan ber-tabarruk dari satu pesantren ke pesantren lain di pulau Jawa. Di Jawa Timur, beliau bertabarruk di banyak pesantren mulai dari Paculgowang. Ngrangkok, Kwagean, Ringinagung, Blitar, Banyuwangi, Jombang. Tremas dan lain sebagainya. Menurut Gus Abdul Rouf saat bertabarruk di pesantren-pesantren di Jawa Timur, beliau mengkhatamkan sedikitnya 180 kitab diantaranya Fath al-Qarib, Fath al-Muin, Fath al-Wahab, Muhaddzab, Mahalli, lqna, Sirajuth Thalibin, Minhaj al-Abidin, Riyadh ash Shalihin, Lubb al-Mashun, Jamul Jawami, dan lain sebagainya.
Di luar Jawa Timur bellau ber-tabarruk di Sarang, Rembang, Lasem hingga Banten. Saat mondok kilatan Ramadhan di Sarang. beliau bahkan dapat mengkhatamkan 80 kitab matan.
Dekat dengan KH. Dimyathi Rois
Semasa mondok di Kaliwungu, beliau adalah salah satu santri kinasih KH. Dimyathi Rois, kedekatan itu bahkan berlanjut hingga beliau pulang. Setiap Kiai Adib sowan ke Kaliwungu, pasti bertemu dengan KH. Dimyathi Rois.
Saat ber-tabarruk di pesantren pesantren di Jawa Timur, beliau mengkhatamkan sedikitnya 180 kitab. Saat mondok kilatan Ramadhan di Sarang, beliau bahkan dapat mengkhatamkan 80 kitab matan.
Pada suatu saat, beliau sowan ke Kaliwungu pada jam 12 malam. Beliau diterima oleh putranya Mbah Dim. Mengetahui Mbah Dim sudah istirahat, beliau pun mengurungkan niatannya untuk sowan dan pamit pulang. Akan tetapi putranya Mbah Dim menolak dan berkata, “Cak, Sampeyan ojo muleh sek. Nek Sampeyan muleh aku sing diseneni Abah soale nek Sampeyan mrene kudu petuk Abah. Abah nggelek’i Sampeyan. (Cak, kamu jangan pulang dulu. Kalau kamu pulang aku yang dimarahi Abah, soalnya kalau kamu kesini harus bertemu Abah. Abah pasti mencarimu)”.
Akhirnya, beliau pun tidak jadi pulang dan mengobrol dengan putranya Mbah Dim tadi sampai subuh, hingga akhirnya beliau bisa sowan kepada Mbah Dim.
Mencintai Kitab
Kial Adib adalah sosok yang sangat mencintai kitab. Kecintaan beliau terhadap kitab sudah terpupuk sejak muda. Saat menimba ilmu di berbagai pesantren, beliau seringkali menjadi bahan ejekan teman-temannya karena tidak pernah mengganti baju. Beliau hanya punya dua baju, saat yang satu dipakai, yang satunya lagi dicuci untuk dipakai di kemudian hari, begitu seterusnya. Bekal yang diberikan ayahnya beliau habiskan untuk membeli kitab. Beliau mempunyai prinsip: lebih baik mendahulukan membeli kitab, daripada membeli baju bagus atau kebutuhan lain. Saat diejek teman-temannya, beliau selalu menanamkan dalam hati: “Gak popo aku diejek, ancen iki prinsipku, luweh ndisekno duwe kitab daripada liyane, insyaAllah barokah. (Tidak apa- apa aku diejek, ini memang prinsipku, lebih mendahulukan kitab daripada kebutuhan lain, insyaAllah barakah.)”
Menjadi Menantu KH. Abdullah Faqih
Kealiman, ketawadhuan, dan kesederhanaan beliau membuatnya diangkat menjadi menantu oleh KH. Abdullah Faqih. Beliau lalu dinikahkan dengan Ny. Hj. Hanifah kemudian diboyong untuk menjadi pengajar di Pondok Pesantren Langitan hingga akhir hayatnya. Dalam pernikahannya dengan Ny. Hj. beliau dikaruniai lima orang putra-putri yakni Agus Muhammad Muslih, Ning Abidah, Agus Abdur Rouf, Ning Arofah, dan Agus Salim.
Diceritakan, saat beliau diboyong ke Langitan, KH. Munawwar Kholil, ayahanda beliau sempat bersedih selama empat tahun. Sebab anak yang disiapkan untuk menjadi penerusnya diminta oleh KH. Abdullah Faqih untuk tinggal di Langitan. Apalagi disana KH. Munawwar Kholil sudah menata rapi semua kegiatan pengajian untuk sang putra. Namun karena KH. Abdullah Faqih yang meminta, akhirnya KH. Munawwar Kholil pun rela melepaskan Kiai Adib.
Sejak bermukim di Pondok Pesantren Langitan, beliau sudah dikenal alim bahkan sering diamanahi untuk membalah kitab-kitab besar. Beliau juga menjadi rujukan dalam berbagai persoalan fikih kontekstual, nama beliau tercantum dalam rubrik Masa’il di Majalah Langitan. Beliau juga sosok yang istiqomah dan disiplin dalam mengaji. Bahkan meski yang mengaji hanya satu atau dua orang tidak menjadi masalah.
Sepeninggal KH. Abdullah Faqih, Kial Adib juga diamanahi untuk menggantikan beliau dalam pengajian Ihya Ulumuddin kepada santri dan alumni Pondok Pesantren Langitan dalam pengajian mingguan.
Wafatnya Sang Cahaya
Kamis malam, 03 Desember 2020 lalu, KH. Quhwanul Adib wafat. Beliau dimakamkan di komplek pemakaman masyayikh Pondok Pesantren Langitan.
Langitan kehilangan salah satu cahayanya. Kabar duka beliau dengan cepat menyebar di seluruh Nusantara, meninggalkan ribuan kenangan yang abadi di benak siapapun yang pernah mengenalnya.
Luthfi Ansori
0 Comments