“Serigala buas yang dilepas di kandang kambing tidak lebih berbahaya dari pada cinta harta dan tahta dalam kehidupan agama seseorang.” Itulah yang di sabdakan Rasulullah tentang betapa amat berbahayanya cinta terhadap kedudukan.
Hakikat tahta dan kedudukan adalah penguasaan terhadap hati orang lain sehingga mereka mau tunduk kepadanya karena tahta yang telah ia miliki, mereka akan memuji dengan ucapan serta berusaha memenuhi segala keinginannya sesuai perintahnya. Hampir sama seperti harta, maknanya adalah kepemilikan dirham demi mencapai tujuan-tujuannya.
Demikianlah, tahta merupakan penguasa hati. Hanya saja, tahta lebih dicintai dibanding harta, karena bisa mendatangkan harta kekayaan. Hal itu disebabkan beberapa faktor, antara lain:
Dengan tahta, orang akan lebih mudah untuk meraup harta kekayaan, tetapi belum tentu dengan kekayaan seseorang dapat meraih jabatan secara mudah. Tahta lebih aman dan terpelihara dari pencurian, perampasan dan bencana lainnya, berbeda dengan harta kekayaan yang senantiasa menjadi incaran para pencuri dan perampok.
Tahta berarti ketinggian atau kemuliaan. Sifat ini secara teologis merupakan sifat Allah SWT. Dan setiap manusia, secara naluriah pasti mencintai sifat-sifat Allah SWT. Bahkan sifat tersebut telah menjadi instrumen untuk meraih segalanya. Karena pada sifat tersebut ada rahasia samar, keterkaitan antara ruh dengan persoalan-persoalan ketuhanan. Dalam hal ini Allah berfirman, “Katakanlah, bahwa ruh itu urusan Tuhanku.” (Q.s. Al-Isra’: 85).
Bisa di katakan perkara ketuhanan, yang memberi pesona pada watak, sebagai wahana kediktatoran dan satu-satunya eksistensi wujud. Manusia memiliki ambisi seperti itu. Bahkan pada jiwanya muncul egoisme seperti ucapan Firaun , “Akulah tuhan kamu sekalian yang luhur!”.Tetapi manakala terputus dari sikap “satu-satunya dalam wujud” (yang paling), la tetap berambisi meraih keluhuran dan tahta di atas segalanya di dunia, agar ia bisa meraih apa yang dikehendakinya. Dan sikap demikian berarti memasuki wahana ketuhanan.
Semua itu merupakan ambisinya untuk mendapatkan semua dengan sifat-sifat ketuhanan. Kadang-kadang sifat demikian lebih dominan, sementara nafsu-nafsu hewaninya justru melemah. kita mungkin akan bertanya, mengapa meraih keluhuran seperti itu tercela? Padahal ambisi tersebut lahir dari kristalisasi akal dan ruh yang secara khusus berkaitan dengan urusan ketuhanan?
Perlu kita ketahui, menggapai keluhuran yang hakiki merupakan tindakan terpuji, tidak tercela, apabila motivasi secara keseluruhan adalah taqarrub kepada Allah SWT. Sebab, itulah supremasi dan kesempurnaan sejati, yang tidak mengandung kehinaan, kekayaan yang tidak mengandung kefakiran, kekekalan yang tidak mengandung kehancuran, serta kenikmatan yang tidak mengandung penyesalan sama sekali. Sementara ambisi yang dicaci adalah upaya mencapai kesempurnaan semu, bukan kesempurnaan hakiki.
Selain itu motivasi meraih tahta adalah kesenangan terhadap pujian. Manusia menikmati pujian tersebut dalam tiga hal: Pertama, yang dipuji merasa memiliki supremasi kesempurnaan, dan merasakan supremasi tersebut sebagai sesuatu yang nikmat. Sebab kesempurnaan adalah sifat-sifat Ilahiah.
Kedua, ia merasa menguasai hati orang yang memuji, dan bisa menegakkan kharisma kepada orang tersebut, karena telah tunduk kepadanya. Ketiga, la merasakan bahwa pemujinya benar-benar serius dengan ‘ pujiannya, sehingga kekuasaannya semakin menebar. Apalagi jika pujian itu merambah khalayak umum, ia semakin menikmati pujian tersebut.
Pada kenikmatan pujian yang pertama di atas, akan sirna rasa nikmatnya, apabila pujian muncul dari orang yang tidak memiliki pandangan jiwa, karenanya, pujian itu tidak menambah kualitas kesempurnaannya. Sedangkan kenikmatan pujian kedua, juga tidak membekas bila muncul dari orang rendah yang tidak memiliki akses kekuasaan. Sebab dominasi terhadap wahana hati orang rendahan tersebut tidak diperhitungkan. Dan kenikmatan ketiga juga sirna apabila pujian dilontarkan di tempat yang sunyi, tidak di tengah khalayak. Karena kenikmatan pujian di sini justru muncul di tengah khalayak.
Cercaan, termasuk hal yang dibenci oleh orang yang berambisi pada tahta, karena akan merusak faktor-faktor kenikmatan tahtanya. Manusia banyak yang hancur karena senang dipuji, dan benci dicerca. Bahkan sikap tersebut ditonjolkan lewat pamer dan kemaksiatan. Terapi penyakit hati tersebut adalah, seseorang harus memikirkan kenikmatan pada sisi pertama di atas. Bahwa pujian karena harta dan tahta, hanyalah kesempurnaan semu. Bahkan menjadi penyebab musnahnya kesempurnaan hakiki, karena la merasa gelisah lantaran kesemuan tersebut, dan sama sekali tiada kegembiraan.
Bila seseorang dipuji karena ilmu dan wara’nya, seyogyanya kebahagiaannya sekadar pada predikat tersebut dan harus bersyukur kepada Allah, bukan kepada si pemuji. Tetapi apabila predikat ilmu dan wara’ itu tidak terdapat dalam dirinya, kebahagiaannya justru merupakan kesombongannya. Seperti kebahagiaan orang yang dipuji dengan kata-kata, “Betapa harum nafasmu!” padahal la tahu nafasnya berbau. Begitu juga dalam pujian dengan predikat berilmu, wara’ dan zuhud, padahal la sendiri tahu, bahwa dirinya sama sekali tidak memiliki predikat tersebut. Sedangkan terapi terhadap rasa menikmati pujian yang kedua dan ketiga, bisa kita telaah dalam terapi cinta tahta di atas.
[Najibuddin]
menaralangitan.com
0 Comments