Oleh: KH. Ihya’ Ulumuddin
Untuk mencapai derajat luhur di sisi Allah SWT yang disebut dengan wushul, maqam, atau idrak, banyak jalan yang bisa ditempuh kaum muslimin, laksana pepatah: “Banyak jalan menuju Roma” sesuai dengan status dan kecenderungan masing-masing.
Menurut Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, status orang yang menempuh jalan luhur kepada Allah SWT dapat dikelompokan menjadi enam: 1) ahli ibadah; orang yang tekun dan serius beribadah siang malam, 2) alim; orang berilmu dan kesehariannya dihabiskan untuk aktifitas mengamalkan ilmu kepada masyarakat, 3) muta’allim; orang yang menghabiskan waktunya untuk menuntut ilmu, 4) pejabat; penguasa yang bertanggung jawab terhadap kehidupan rakyatnya, 5) pekerja; sehari-harinya bekerja mencari nafkah keluarganya, dan 6) orang yang tenggelam (mabuk ) dalam cinta (ekstase) kepada Allah SWT.
Apapun statusnya, ada satu jalan yang otomatis harus ditempuh oleh orang yang menghendaki derajat luhur di sisi Allah SWT. Jalan asasi itu adalah sakha’ (murah tangan). Sakh’ bisa berarti suka berderma (dengan harta), bisa juga berarti umum, yaitu setiap kegiatan darma bakti yang memberikan manfaat pada orang lain, seperti ringan tangan, suka menolong, dan trengginas dalam mengulurkan bantuan, sampai ke tingkat berkorban untuk orang lain baik dengan harta, tenaga, pikiran, maupun lainnya. Dengan murah tangan, orang rela berpayah-payah dan mau repot demi orang lain.
Murah tangan ini sifatnya universal dan lintas batas, baik jenis, golongan, suku, ras, maupun agama. Namun, paling tidak, dalam lingkup komunitas kecil kaum muslimin (kutlah) sikap itu dapat diterapkan secara lebih ideal. Semakin seseorang murah tangan berarti kian baguslah derajatnya. Dalam hadis Rasulullah SAW disebutkan :
Seluruh makhluk adalah “keluarga” Allah. Sebaik-baik“ keluarga” Allah adalah orang yang paling bermanfaat dikalangan keluarga-Nya. (H.R. Tabharani )
Sikap ringan tangan untuk orang lain merupakan pengejawantahan dari orientasi pemikiran bernilai luhur yang diajarkan oleh agama Islam. Sementara pemikiran berorientasi biasa bahkan rendah adalah semangat beramal dan berkaya yang terbatas untuk kepentingan diri sendiri (individualistik) yang disebut dengan bakhil (lawan dari sakh’) baik secara harta, pikiran, tenaga, maupun jenis kemampuan lainnya. Dalam satu kaidah fiqh dinyatakan :
“Amal yang bermanfaat untuk diri sendiri sekaligus untuk orang lain nilainya lebih afdhol dibanding dengan amal yang bermanfaat secara terbatas untuk diri sendiri.”
Atas dasar ini, Imam Fudhail bin Iyadh mengatakan bahwa orang yang mencapai derajat luhur di sisi Allah SWT bukanlah orang yang banyak puasa, juga bukan orang yang banyak salat, karena puasa dan salat bermanfaat untuk diri sendiri, melainkan orang yang memiliki sikap mental: 1) murah tangan, 2) polos hati, 3) memberi nasehat umat (berdakwah), karena hal itu bermanfaat bagi orang lain di samping bermanfaat pada dirinya sendiri.
Pendapat ini ditegaskan oleh Syekh Akbar Ibnu Arabi. Guru besar tasawuf yang dituduh “sesat” oleh Imam Asy-Syaukani, Syekh Izzuddin bin Abdussalam, dan Ibnu Taimiyah, sementara menurut mayoritas ulama ahli tasawuf beliau adalah seorang wali besar, berpesan bahwa thariqat yang di tempuh untuk mencapai derajat luhur di sisi Allah SWT adalah thariqat yang di bangun di atas landasan : 1) Al-Qur`an, 2) As-Sunnah, 3) kepolosan hati, 4) murah tangan, 5) menghindari keras hati, dan 6) memaafkan kesalahan teman.
Orang-orang besar di masa Islam maupun di masa jahiliyah sama dikenang jasanya tidak lebih karena memiliki sifat murah tangan pada orang lain. Nabi Ibrahim AS misalnya. Beliaulah orang pertama yang mempelopori tradisi memuliakan dan menjamu makan tamu. Murah tangan tampak dapat memperbaiki nama dan mengangkat derajat di mata masyarakat maupun dalam pandangan Allah SWT. Dalam hadis dinyatakan :
“Orang yang murah tangan dekat dengan Allah, dekat dengan masyarakat, dekat dengan surga, dan jauh dari neraka. Sesungguhnya orang jahil yang murah tangan lebih dicintai Allah daripada ahli ibadah yang bakhil”. (H.R. Tirmidzi)
Kaum muslimin dengan demikian seharusnya menghiasi jiwanya dengan sifat murah tangan baik harta maupun kemampuan lainnya, lebih-lebih para dai, karena sifat itu memilki pengaruh positif yang besar pada sasaran dakwah (mad`u). Apalagi dinyatakan dalam sebuah hadis bahwa orang beriman aslinya tidak mungkin bertabiat kikir di samping tidak mungkin bertabiat khianat.
Pada periode Rasulullah SAW, banyak tokoh dan orang awam masuk Islam karena kedermawanan beliau yang lebih dari laksana angin berhembus. Seseorang datang dan beliau berikan kambing di antara dua gunung. Dia lalu pulang menemui kaumnya dan berkata :”Wahai kaumku, masuk Islamlah, sesungguhnya Muhammad kalau memberi tidak takut miskin. “Sahabat Anas bin Malik menambahkan“ Ada seseorang masuk Islam dengan target demi meraih dunia, namun tidak berapa lama, Islam menjadi lebih dia cintai daripada dunia dan isinya.” Rasulullah SAW bersabda:
“Wahai anak turun Adam. Bila kamu mengerahkan segenap kemampuanmu itu lebih baik bagimu. Bila kemampuanmu itu kamu kekang, maka itu berakibat buruk bagimu. Kamu tidak akan di cela sebab pola hidup cukup menjadi pilihanmu. Mulailah dengan orang-orang yang nafkahnya menjadi tanggung jawabmu. Tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan di bawah (meminta )”. (H.R.Muslim )
Pangkal dan cabang dari murah tangan sesungguhnya adalah berbaik sangka kepada Allah SWT (husnudzdan bilah). Orang yang sangkaannya kepada Allah SWT positif, dia akan mudah bermurah tangan. Sebaliknya, pangkal dan cabang kikir adalah berburuk sangka kepada Allah SWT (su’udzdzan billah). Orang yang sangkaannya kepada Allah negatif, dia akan cenderung bersikap bakhil. Jadi, seseorang bermurah tangan atau tidak, amat terkait dengan tingkat keimanannya kepada Alloh SWT. Musa ad-Dinawari berkata:
“Murah tangan terhadap apa yang dimiliki merupakan puncak murah tangan. Sedangkan kikir terhadap apa yang dimiliki merupakan buruk sangka kepada Dzat yang patut disembah.”
Setiap orang tidaklah sama kemampuan dan kecenderungannya. Keragaman dalam hal kemampuan dan kecenderungan merupakan kehendak Allah SWT. Dia sendiri yang mengaturnya. Keragaman itu seyogyanya disyukuri dengan mempergunakan potensi dan kecenderungan yang dimiliki masing-masing sebaik-baiknya. Tanpa harus iri, silau, atau “memandang jauh” orang lain. Imani dan tanamkanlah rasa percaya diri. Inilah barang kali hikmah diciptakannya keragaman, yaitu agar tumbuh kompetisi dalam berbuat kebaikan, termasuk berkompetisi dalam hal bermutrah tangan. Firman Allah SWT :
“Dan masing-masing (Individu, jamaah atau umat) memiliki kiblat (arah kecenderungan) sendiri-sendiri. Allahlah yang mengatur kiblat itu. Maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebajikan.”(QS.Al-Baqoroh: 148)
Khalifah Ali bin Abi Tholib, sebagaimana dituturkan oleh Ibnu abi Hatim mengatakan:“Barang siapa dianugerahi Alloh kemampuan harta maka hendaklah dia pergunakan harta itu untuk menjalin hubungan sanak kekerabatan. Untuk menjamu tamu dengan baik, untuk mengentas orang yang menderita, mengentas tawanan, menolong ibnu sabil, fakir miskin, dan membantu para pejuang. Dan hendaklah ia bersabar atas bencana yang penimpa hartanya. Dengan sikap itulah dia akan memperoleh kemuliaan di dunia dan keluhuran di akhirat.”
Hasan Al Bashri ditanya, ”Siapakah dermawan itu? ”Dijawabnya: “Orang yang seandainya memiliki dunia dan menginfaqkannya dia masih melihat ada hak-hak yang masih belum ditunaikannya.”
Berikut inia dalah kisah yang menggambarkan darma bakti generasi sahabat. Usai peperangan Yarmuk, Hudzaifah Al-Adawi pergi mencari anak pamannya di antara para pasukan yang terbunuh. Dia membawa air dengan harapan jika anak pamannya masih memiliki sisa-sisa hidup dia akan memberinya minum. Benar, ternyata anak pamannya itu masih memiliki sisa-sisa hidup di antara orang-orang yang terbunuh. Katanya: “Apakah anda butuh minum?” Anak pamannya mengiyakan dengan isyarah. Tiba-tiba terdengar seseorang tidak jauh darinya menjerit kesakitan. Anak pamannya yang tengah kesakitan dan kehausan itu member isyarah kepada Hudzaifah Al adawi untuk pergi member minum kepada orang yang menjerit itu. Orang yang menjerit itu ternyata Hisyam bin Ash. Hudzaifah Al-Adawi berkata: ”Apakah anda butuh minum? ” Hisyam bin Ash mengiyakan. Tiba-tiba, berikutnya terdengar seorang terluka yang lain menjerit kesakitan. Hisyam bin Ash member isyarah kepadanya cepat pergi member minum orang yang menjerit itu.Hudzaifah Al Adawi bergegas menemuinya, ternyata dia sudah wafat. Dia lalu kembali ke Hisyam bin Ash. Didapati Hisyam bin Ash juga wafat. Dia terus berlari menuju anak pamannya. Ternyata anak pamannya juga telah wafat. WallohuA’lam
[Majalah Langitan]
0 Comments