Seperti diketahui bahwa sebelum acara puncak Satu Abad NU, terdapat acara Muktamar Internasional Fikih Peradaban yang dilangsungkan di Hotel Shangri-la, Surabaya pada Senin, (6/2/23).
Sementara hasil rekap dari acara Muktamar Internasional Fikih Peradaban tersebut dibacakan KH. Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus, di acara puncak Satu Abad NU yang digelar di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Selasa (7/2/23).
Hasil Ini merupakan kesepakatan ulama sedunia tentang bagaimana agama merespons isu-isu strategis dan membangun peradaban yang lebih baik.
Dalam pembacaannya, beliau Gus Mus ditemani dengan putri kedua Gus Dur, Ibu Yenny Wahid sebagai penerjemah, karena Gus Mus membacakan hasil tersebut dengan bahasa Arab.
Berikut adalah hasil Muktamar Internasional yang dibacakan Gus Mus:
‘Rekap Satu Abad Nahdlatul Ulama’
Nahdlatul Ulama (NU) berpandangan bahwa pandangan lama yang berakar pada tradisi fikih klasik, yaitu adanya cita-cita untuk menyatukan seluruh umat Islam di bawah naungan tunggal sedunia atau negara Khilafah harus digantikan dengan visi baru demi mewujudkan kemaslahatan umat.
Cita-cita mendirikan kembali negara Khilafah yang dianggap dapat menyatukan umat Islam seluruh dunia, namun dalam hubungan yang berhadap-hadapan dengan non-muslim bukanlah hal yang pantas diusahakan dan dijadikan sebagai aspirasi sebagaimana terbukti akhir-akhir ini melalui upaya mendirikan ISIS. Usaha semacam ini niscaya akan berakhir dalam kekacauan dan malah bertentangan dengan tujuan-tujuan pokok agama atau Maqashid al-Syariah yang tergambar dalam lima prinsip; Menjaga nyawa, menjaga agama, menjaga akal, menjaga keluarga dan menjaga harta.
Dalam kenyataannya, usaha-usaha untuk mendirikan kembali negara Khilafah nyata-nyata bertabrakan dengan tujuan pokok agama tersebut. Ini dikarenakan usaha semacam ini akan menimbulkan ketidakstabilan dan merusak keteraturan sosial-politik. Lebih dari itu, jikapun akhirnya berhasil, usaha-usaha ini juga akan menyebabkan runtuhnya sistem negara-bangsa serta menyebabkan konflik berbau kekerasan yang akan menimpa sebagian wilayah di dunia. Sejarah menunjukkan kekacauan karena perang pada akhirnya akan selalu didampingi dengan penghancuran yang luas atas rumah ibadah, hilangnya nyawa manusia, hancurnya akhlak, keluarga dan harta benda.
Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, cara yang paling tepat dan manjur untuk mewujudkan kemaslahatan umat Islam sedunia adalah dengan memperkuat kesejahteraan dan kemaslahatan seluruh umat manusia baik muslim atau non-muslim, serta mengakui adanya persaudaraan seluruh manusia, anak cucu Adam.
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) berikut piagamnya memanglah tidak sempurna, dan harus diakui masih mengandung masalah hingga saat ini. Namun demikian, Piagam PBB itu dimaksudkan sejak awal sebagai upaya untuk mengakhiri perang yang amat merusak dan praktek-praktek biadab yang mencirikan hubungan nasional sepanjang sejarah manusia. Karena itu, Piagam PBB dan PBB itu sendiri bisa menjadi dasar yang paling kokoh dan yang tersedia untuk menegakkan fikih baru guna menegakkan masa depan peradaban manusia yang damai dan harmonis.
Daripada bercita-cita dan berusaha untuk menyatupadukan seluruh umat Islam dalam negara tunggal sedunia, yaitu negara Khilafah. Nahdlatul Ulama memilih jalan lain, yaitu mengajak umat Islam untuk menempuh visi baru, mengembangkan wacana baru tentang fikih, yaitu fikih yang akan dapat mencegah eksploitasi atas identitas, menangkal penyebaran kebencian antar golongan, mendukung solidaritas dan saling menghargai perbedaan di antara manusia, budaya dan bangsa-bangsa di dunia, serta mendukung tatanan dunia yang sungguh-sungguh adil dan harmonis, tatanan yang didasarkan pada penghargaan atas hak-hak yang setara serta martabat setiap umat manusia. Visi seperti inilah yang justru akan mampu mewujudkan tujuan-tujuan pokok syariah.
Pewarta: Mahir Riyadl
Editor: Abdulloh Al-faiq
0 Comments