Menjaga hubungan bathiniyyah dengan kyai-kyai dan para guru (‘alaqah syaikhiyyah) bahkan dengan sesama teman merupakan suatu hal yang sangat penting dilakukan oleh seorang santri. Jalinan kuat antar hati yang pernah bertransmisi keilmuan, memang mestinya tak luput dari kesinambungan sustainable antar keduanya. Tak pandang guru itu masih ada atau telah pergi untuk selamanya.
Urgensi serta kepentingan hal tersebut jugalah yang mendorong KH. Abdullah Habib menyampaikan pentingnya perihal ini dalam kesempatan Munas ke-5 Kesan Langitan (27/06/22). Beliau menegaskan bahwa seorang santri hendaknya selalu menyambung hubungan dengan para guru dan kiai, sekalipun mereka sudah tiada.
Bahkan hubungan tererat antar guru dan santri yang dirasakan oleh banyak kalangan, akan lebih terasa dikala beliau-beliau penuntun jalan kita telah tiada. Sebagaimana ditegaskan oleh KH. Abdullah Habib Faqih saat Munas Kesan Langitan Ke-5 (27/06/22) “Luweh apik-apike perhatiane guru, iku nek guru wes kapundut.”
“Ketika seorang guru telah menghadap ilahi,” sambung Kiai Dulllah,
“nadhroh, mulahazhoh, ri’aayah, sorotan bathiniyyahnya, pandangan ruuhaniyyahnya, tarbiyahnya akan lebih kuat daripada tatapan ruhaniyyah nya ketika masih hidup.”
Relasi guru dan murid seperti yang beliau beliau sampaikan bukan serta merta tanpa dasar. Karena ketika seorang guru masih hidup, mereka masih disibukkan dengan berbagai hal, baik itu urusan ukhrawi maupun urusan duniawi. Sedang disaat telah tiada, mereka sudah hidup di alam barzakh. Dimana disana para guru kita tidak akan disibukkan dengan perkara dunia. Sehingga mereka dapat sepenuhnya melihat pergerakan, kiprah hingga perjuangan anak-anak didiknya yang masih hidup di dunia.
Oleh sebab itu beliau sangat menganjurkan kepada para santri dan alumni yang hadir dalam forum Munas tersebut untuk selalu menjaga hubungan itu.
Guru Sebagai Punjer Murid
Dalam kesempatan tersebut KH. Abdullah Habib juga berpesan “Jangan sampai menjadi santri seperti layangan putus, terlepas dari benang masyayikh, sehingga mereka melambai tak terarah dan kian jatuh ke tempat yang hina.”
Hal ini menjadi sangat penting, mengingat akhir-akhir ini banyak diantara para santri yang tidak begitu memperhatikan hubungannya dengan para guru. Padahal dari arahan dan nasehat para guru lah, para santri dapat mengetahui banyak hal. Sehingga ketika seorang santri sudah memutus hubungannya dengan kiai, maka putus jugalah petunjuk yang dimiliki oleh seorang guru. Sebagaimana layang-layang yang sudah terputus talinya. Ia akan terombang-ambing kemana angin membawanya.
Karena posisi seorang guru tak ubahnya adalah seorang orang tua kita. Kalau orang tua biologis adalah yang hanya mengurus fisik , sedangkan guru adalah orang tua rohani. “Yang lebih utama adalah orang tua ruhani, kalau orang tua badan hanya mengurusi makanan tapi orang tua ruhani menyelamatkan dunia akhirat.” Ungkap KH. Abdullah Habib Faqih.
Oleh sebab itu seorang santri harus senantiasa menjaga jalinan kuat dengan gurunya dan menjaga hati dari prasangka-prasangka buruk pada gurunya, memantapkan diri untuk terus gandolan dalam segala urusan.
Kelestarian Khidmah
Selain pentingnya menjaga hubungan dengan guru, KH. Abdullah Habib juga menyinggung sedikit perihal pentingnya khidmah bagi seorang santri. Ketika seorang santri ingin terkena luberan barokah, urusan khidmah harus menjadi salah satu prioritas utama. Membantu kyai, membantu guru menjadi kunci besar untuk membuka pintu barokah tersebut. Termasuk diantara bentuk khidmah adalah membantu menyebarkan nilai-nilai dakwah keislaman serta ilmu-ilmu keagamaan yang telah beliau berikan. Semangat khidmah tersebut harus terus-menerus terjaga jangan sampai redup, “Tanamkan dalam hati kita, satu pemahaman jika berkhidmah pada masyayikh setelah mereka wafat lebih penting, lebih besar nilainya.” Ungkap KH. Abdullah Habib Faqih.
(Alfaiq)
0 Comments