Dikatakan oleh Al-Habib Abdullah bin Alawy Al-Haddad mengenai beberapa akhlak yang mulia, di antaranya yaitu rendah hati dalam menjalani hidup walaupun tidak mempunyai harta lebih, dengan tetap berkepribadian yang bersih, tidak memperlihatkan kekumuhan walaupun hanyalah orang yang tidak mempunyai harta lebih. Karena umumnya seseorang yang bisa berkepribadian bersih hanyalah orang yang punya harta lebih.
Begitupun terhadap orang yang mempunyai harta, harus bisa untuk bersikap rendah hati dengan cara tetap menjalani kehidupan secara sederhana. Tidaklah berlebih-lebihan dalam melakukan sesuatu. Bersikap mewah dalam memberikan jamuan seperti ketika ada tamu, namun sederhana jika di hari-hari biasa.
Definisi akhlak sendiri merupakan suatu ungkapan dari keadaan yang melekat kuat dalam jiwa seseorang. Seperti yang diungkapkan oleh Imam Ghozali di dalam kitab Riyadlotun Nafs Ihya’ Ulumuddin, yaitu suatu ungkapan yang melekat kuat dalam jiwa seseorang sehingga mampu muncul dari anggota luarnya tanpa proses perenungan dan pemikiran.
Apabila keadaan yang melekat kuat dalam jiwa itu bagus, maka akan mengeluarkan perbuatan-perbuatan bagus, yang disebut dengan akhlaqul karimah. Namun apabila keadaan yang melekat kuat dalam jiwa itu buruk, maka akan memunculkan perbuatan buruk yang disebut akhlaqul mazmumah atau akhlaqul qobiihah. Akhlak tidak perlu dipikirkan, ia akan keluar dengan sendirinya.
Akhlak sendiri bermacam-macam, ada akhlaqul karimah contohnya tawadlu, ikhlas, mendahulukan orang lain, berkasih sayang, dan masih banyak yang lainnya. Akhlaqul mazmumah juga banyak contohnya, seperti riya’, takabbur, hasud, ujub dan lainnya.
Di antara akhlak yang paling baik itu ada tiga; pertama merasa tawadlu meski dalam keadaan mulia, karena secara sifat, manusia pasti menginginkan untuk selalu dimuliakan. Namun dengan bersikap tawadlu itu sendiri, sudah menjadikan seseorang menjadi mulia. Dan tawadlu yang terbaik adalah ketika dalam keadaan mulia namun tidak ingin dimuliakan.
Imam Hasan bin Sayyidina Ali suatu ketika pernah berpakaian yang bagus kemudian ditanya oleh seorang kiai, “Hai Imam Hasan, Kamu cucunya nabi kok pakaiannya bagus-bagus.” Lalu Imam Hasan menjawab pertanyaan tersebut, “Aku berpakaian bagus karena ingin menunjukkan bahwa aku tidak membutuhkan pemberian dari orang lain.” Dengan berpakaian bagus seperti itu, memiliki maksud supaya orang menilainya telah berkecukupan dan tidak mengharapkan pemberian orang lain. Sekarang banyak yang menunjukkan keinginannya agar diberi orang lain dengan cara berpakaian yang jelek.
Penulis: Arsyad Nuruddin
Editor: Faiq
Sumber: Pengajian Kitab Hikam Langitantv
0 Comments