Wajib Tahu! Inilah Klasifikasi Najis dan Cara Pembersihannya

Penulis : Tim Admin

July 29, 2024

Ilustrasi Najis. (Foto: Azen)

Najis adalah istilah dalam fikih yang merujuk pada segala sesuatu yang dapat membatalkan keabsahan ibadah shalat. Secara bahasa, najis berarti sesuatu yang kotor, namun dalam konteks agama, najis merujuk pada kondisi yang mempengaruhi kesucian dan keabsahan ibadah. Mengetahui dan memahami klasifikasi najis sangat penting agar kita dapat membersihkan diri dan lingkungan dengan cara yang benar sesuai tuntunan syariat.

Dalam fikih, najis dibagi menjadi tiga kategori utama: najis mughallazah (berat), najis mutawassithah (sedang), dan najis mukhaffafah (ringan). Setiap kategori memiliki metode pembersihan yang berbeda. Selain itu, najis juga dibagi menjadi dua jenis berdasarkan wujudnya: najis ‘ainiah (nyata) dan najis hukmiyah (hukum). Memahami perbedaan ini membantu kita dalam melakukan pembersihan secara tepat dan memastikan shalat kita sah.

Tulisan ini akan membahas klasifikasi najis dan cara mensucikannya berdasarkan jenis dan tingkat keseriusannya, serta pentingnya penerapan cara pembersihan yang benar untuk menjaga kesucian ibadah.

Definisi Najis

Secara bahasa najis merupakan perkara yang kotor, sedangkan menurut istilah fikih, najis merupakan setiap perkara yang menyebabkan tidak sahnya ibadah shalat. (Lihat: Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf, Taqrirot as-Sadidah [Yaman, Darul Ilmi wa Dakwah: 2003], hal 125).

Bila mengikuti arti najis secara bahasa maka apa pun yang dianggap kotor masuk dalam kategori najis, seperti ingus, air ludah, air sperma, dan lain sebagainya.

Klasifikasi Najis

Dalam fikih, najis diklasifikasikan menjadi tiga kategori, mughallazah, mutawasithah dan mukhaffafah. Najis mughallazah adalah najisnya anjing dan babi.

Najis mutawassithah adalah najis yang bukan dari anjing atau babi, dan bukan urine bayi yang hanya meminum susu. Contohnya adalah urine manusia, kotoran hewan, dan darah. Sementara najis mukhaffafah adalah urine bayi yang belum makan makanan selain susu dan belum mencapai usia dua tahun.

Ketiga kategori tersebut memiliki cara masing-masing dalam mensucikannya. Tetapi sebelum membahas lebih jauh, mari kita bahas terlebih dahulu apa itu istilah najis ‘ainiah dan hukmiyah.

Najis ‘ainiah adalah segala najis yang memiliki wujud nyata yang tampak secara kasat mata, yang ditandai dengan ciri-ciri seperti warna atau bau, seperti kotoran, urine, dan darah. Dengan kata lain najis ‘ainiyah adalah najis yang masih ada wujudnya.

Sedangkan najis hukmiyah adalah adalah segala najis yang telah mengering dan hilang jejaknya, tanpa menyisakan bekas berupa warna atau bau, seperti urine yang mengenai pakaian lalu mengering dan tidak meninggalkan bekas. (Lihat: Dr. Mustafa al-Khin, Dr. Mustafa al-Bugha, Ali al-Sharbaghi, al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Shafi’i rahimahullah [Damaskus, Dar al-Qalam: 1992], jilid 1, hlm. 40).

Tata Cara Mensucikan Najis

Adapun tata cara mensucikan najis adalah sebagai berikut:

Najis mughallazah dapat disucikan dengan cara membasuhnya menggunakan air sebanyak tujuh kali yang mana salah satunya dicampur dengan debu. Dengan ketentuan menghilangkan wujud najis tersebut terlebih dahulu. Dalam Taqrirot as-Sadidah disebutkan:

تطهر النجاسة المُغَلَّظَةُ بِسَبْعِ غَسْلاتٍ بعد إزالة عينها إحداهن بتراب، والأفضل أن يكون وضع التراب في الغسلة الأولى، حتى لو أصابه رشاش في أي غسلة بعدها، فيَغْسِلُ ما أصابه بالماء دون التراب بعدد ما بَقِيَ مِنَ الغَسْلات .

Artinya: “Najis mughallazah dibersihkan dengan tujuh kali basuhan setelah menghilangkan zat najisnya. Salah satu pembasuhan harus menggunakan debu. Sebaiknya, gunakan debu pada basuhan pertama. Jika tempat najis terkena percikan pada pembasuhan berikutnya, cukup bersihkan dengan air saja, tanpa perlu menggunakan tanah lagi, sesuai jumlah pencucian yang masih diperlukan.”

Pencampuran air dengan debu ini dapat dilakukan dengan tiga cara:

Pertama, mencampur air dengan debu hingga menjadi keruh, kemudian mengoleskannya pada tempat najis; ini adalah metode yang paling baik.

Kedua, menaburkan tanah pada tempat najis, lalu menuangkan air di atasnya.

Ketiga, menuangkan air pada tempat najis, kemudian menaburkan tanah di atasnya. (Lihat: Habib Hasan bin Ahmad bin Muhammad bin Salim al-Kaf, Taqrirot as-Sadidah [Yaman, Darul Ilmi wa Dakwah: 2003], hal 133 – 134 )

Najis Mutawassithah dapat disucikan dengan menghilangkan ‘ain atau wujud najis terlebih dahulu. Bila wujud najis dari warna, rasa, dan bau sudah tidak ada, maka tinggal mensucikan tempat najis tersebut dengan air yang suci dan mensucikan. Dalam al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Shafi’i rahimahullah hal. 41 disebutkan:

النجاسة المتوسطة: وهي غير الكلب والخنزير، وغير بول الصبي الذي لم يطعم إلا لبن، وذلك مثل بول الإنسان، وروث الحيوان، والدم. وسميت متوسطة لأنها لا تظهر بالرش، ولا يجب فيها تكرار الغسل إذا زالت عينها بغسلة واحدة.

Artinya: “Najis mutawassithah Ini adalah najis yang bukan dari anjing atau babi, dan bukan urine bayi yang hanya minum susu. Contohnya termasuk urine manusia, kotoran hewan, dan darah. Najis jenis ini disebut “mutawassithah” karena tidak perlu dibasuh berulang kali jika sudah hilang dengan satu kali basuhan, dan cukup disiram dengan air saja.”

Najis mukhaffafah yang merupakan urine bayi yang belum makan makanan selain susu dan belum mencapai usia dua tahun. Najis ini dapat disucikan dengan memercikan air ke tempat najis.

Cara memercikan air ini harus dengan percikan yang kuat dan ia mengenai seluruh tempat najis. Air yang dipercikan juga harus lebih banyak dari najisnya. Dalam hal ini tidak disyaratkan menggunakan air yang mengalir. Dalam kitab yang sama disebutkan:

النجاسة المخففة: وهي بول الصبي الذي لم يأكل إلا اللبن ولم يبلغ سنه حولين، ودليل كونها مخففة أنها يكفي رشها بالماء، بحيث يعم الرش جميع موضع النجاسة من غير سيلان.

Artinya: “Najis mukhaffafah Ini adalah urine bayi yang hanya minum susu dan belum berusia dua tahun. Najis ini disebut “mukhaffafah” karena cukup dengan menyemprotkan air ke tempat najisnya, tanpa perlu mengalirkan air.”

Terakhir, sangat penting sekali memahami klasifikasi najis ini, karena selain memastikan kebersihan fisik juga untuk memastikan bahwa shalat kita sah. Memahami dan menerapkan cara pembersihan yang benar sesuai dengan jenis najis membantu kita menjalankan ibadah dengan lebih khusyuk dan benar. Wallahu a’lamu.

Penulis: Mahirur Riyadl
Editor: M. Abdulloh Al Faiq

Tulisan Terkait

Kenapa Ilmu Tauhid Wajib Dipelajari?

Kenapa Ilmu Tauhid Wajib Dipelajari?

Di zaman sekarang, kajian dan diskusi terkait ilmu tauhid atau ilmu kalam tidak sebanyak ilmu-ilmu yang lain. Di pengajian umum, misalnya, seringkali yang dibahas hanya berputar di antara fikih dan tasawuf, sangat jarang sekali ilmu tauhid menjadi pembahasan utama. ...

Kisah Keajaiban Membaca Laa Ilaha Illallah 70.000 Kali

Kisah Keajaiban Membaca Laa Ilaha Illallah 70.000 Kali

Dalam tradisi keislaman, cerita-cerita tentang keajaiban doa dan amalan sering kali menjadi sumber inspirasi dan keimanan bagi umatnya. Salah satu cerita yang menarik adalah yang disampaikan oleh Syekh Abu Zaid Al Quthubi, yang ditemukan dalam kitab Irsyadul Ibad...

Peristiwa-Peristiwa Penting yang Terjadi di Bulan Muharram

Peristiwa-Peristiwa Penting yang Terjadi di Bulan Muharram

Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Muharram, menurut perhitungan kalender yang diterbitkan PP. Langitan, awal bulan Muharram 1446 H akan jatuh pada hari Ahad 7 Juli 2024.  Bulan Muharram memiliki beberapa peristiwa penting yang menjadikannya salah satu bulan yang...

Bekal 1 Muharram 1445 H, Ini Amalan-Amalannya!

Bekal 1 Muharram 1445 H, Ini Amalan-Amalannya!

Bulan Muharram merupakan bulan pertama dalam kalender Hijriah, sedangkan bulan Dzulhijjah sebagai bulan terakhir. Oleh karena itu, Muharram diperingati sebagai awal tahun baru Hijriah atau tahun baru Islam. Adapun Dzulhijjah diperingati sebagai akhir tahun Hijriah....

Hukum dan Tatacara Shalat Idul Adha

Hukum dan Tatacara Shalat Idul Adha

Shalat Idul Adha adalah shalat sunnah dua rakaat yang dilaksanakan setiap hari raya Idul Adha atau pada tanggal 10 Dzulhiijah dalam kalender Hijriah. Shalat Idul Adha, menurut madzab Syafi'i dan Maliki hukumnya sunah muakkad (sangat dianjurkan). Sementara menurut Imam...

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kategori

Arsip

Posting Populer