Amar ma’ruf nahi munkar adalah memerintahkan setiap muslim untuk melakukan kebaikan dan mencegah mereka melakukan hal-hal yang munkar (dilarang oleh agama).
Dalam Pengajian Kitab Irsyadul Ibad yang diselenggarakan di Mushalla Agung PP. Langitan pada Kamis, (16/6/22) telah dibahas tema tentang amar ma’ruf nahi munkar.
Sebelum KH. Ubadillah Faqih membaca qadliyah dari kitab tersebut, beliau mengawalinya terlebih dahulu dengan menerangkan cara penerapan amar ma’ruf nahi munkar.
Menurut Kiai Ubaid, sebutan akrab beliau, sebelum seseorang ber- amar ma’ruf nahi munkar kepada orang lain, ia harus memberlakukannya terlebih dahulu kepada dirinya sendiri.
“Kalau kamu memerintahkan kebaikan kepada orang lain dan memerintahkan mereka meninggalkan kejahatan, itu kamu harus mempraktikkan dan mengamalkannya terlebih dahulu, baru kemudian kamu memerintah orang lain seperti itu.” Jelas Kiai Ubaid.
Beliau juga menerangkan secara rinci mengenai urutan seseorang dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
“Jadi, perintah amar ma’ruf nahi munkar itu pertama lakukanlah kepada diri kamu sendiri, lalu orang-orang terdekat, seperti anak dan istri, orang tua dan lingkungan sekitarmu. Jika itu sudah dilakukan, maka jangkauannya bisa diperluas lagi seperti tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten,” sambung beliau.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai Bukti Kasih Sayang
Setelah menerangkan penerapan amar ma’ruf nahi munkar, beliau lalu membaca qadliyah sebagaimana yang disebutkan dalam kitab.
قال الله تعالى: وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ
Artinya “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi kekasih bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar.” (QS: At-Taubah: 7)
Lafadz وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ dalam penjelasan beliau, memiliki arti setiap muslim harus mempunyai rasa kasih sayang satu sama lain, bila seseorang mendapati temannya yang lain sedang sakit, ia juga harus bisa merasakan hal yang sama.
“Makanya kita itu wajib sayang dan kasihan pada teman sesama Islam, bahkan kamu harus merasakan jika teman kamu merasa sakit kamu harus seakan-akan merasakan susah dan sakit juga, karena orang muslim dengan muslim yang lain itu sebagaimana satu anggota badan, ketika ada satu anggota tubuh yang sakit, maka semua anggotah tubuh juga sama merasakan.”
Adapun ciri dari bentuk saling mengasihi satu sama lain adalah dengan يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ (menyuruh [mengerjakan] yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar). Yakni ketika mendapati teman tidak melaksanakan ibadah, maka kamu mengingatkan dan mengajak untuk melaksanakannya.
“Ketika melihat teman sedang tidak melaksanakan ibadah, muncul darimu perasaan tidak tega, sebab jika ia tidak melaksanakan ibadah ia akan masuk neraka. Akhirnya, kamu mengingatkan dan mengajaknya melaksanakan ibadah. Ini merupakan bentuk kasih sayang sesama muslim,” lanjutnya.
Amar Ma’ruf Nahi Munkar sebagai Bukti Keimanan Seseorang
Menurut Imam Ghazali, ayat di atas memberikan pemahaman bahwa seseorang yang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar itu bukanlah termasuk orang yang beriman.
“Lha ini katanya Imam Ghazali, kalau orang sudah tidak mau amar ma’ruf nahi munkar, berarti sudah tidak termasuk orang yang iman.” Terang Kiai Ubaid kemudian.
Adapun menurut Imam Qhurtubi, dalam qadliyah selanjutnya, mengatakan kalau amar ma’ruf nahi munkar itu dijadikan Allah Swt sebagai pembeda antara orang yang beriman dan orang yang munafik.
“Artinya Allah memerintahkan orang ber-amar ma’ruf nahi munkar agar bisa untuk membedakan mana orang yang iman sesungguhnya dan orang munafik. Ketika seseorang tidak mau melakukannya, maka ia meninggalkan perintah Allah. Orang ini merupakan orang yang sudah tidak beriman, berarti ia adalah seorang yang munafik,” pungkas beliau.
Penulis: Mahirur Riyadl
Editor: Abdulloh Al Faiq
0 Comments