Dalam Madzhab Syafi’i kita mengenal istilah qoul qodim dan qoul jadid. Qoul qodim adalah pendapat Imam Syafi’i yang dinukil oleh beberapa muridnya saat beliau masih di Baghdad. Termasuk murid beliau saat itu adalah Imam Ahmad bin hanbal, al-Hasan bin Muhammad, dan Abu Ali al-Husain bin Ali. Sedangkan qoul jadid adalah pendapat Imam Syafi’i saat beliau telah bermukim di Mesir. Di antara murid beliau di Mesir adalah Imam Muzani, al-Buyuthi , dan ar-Rabi’ bin Sulaiman al-Marodly.
Adanya qoul qodim dan jadid bukan hal yang asing dalam berfatwa. Beberapa pendiri madzhab juga pernah melakukan hal sama. Dalam satu kesempatan mereka berfatwa, lalu dalam kesempatan lain fatwa itu diperbarui dengan hukum baru. Karena masalah yang difatwakan adalah masalah furu’iyyah yang bersifat ijtihadiyyah. Seorang mufti terkadang melihat kondisi masyarakat untuk menentukan sebuah hukum.
Mengenai qoul qodim, sebagian ulama mengatakan bahwa itu tidak termasuk Madzhab Syafi’i. mereka mengibaratkan bahwa sebagai pegangan , mengikuti sebuah pendapat sebuah madzhab sama dengan mengikuti sebuah hadits. Bila terdapat hadits yang telah dinaskh(disalin dengan hadits baru) maka yang diambil adalah hadits yang baru. Begitu juga qoul Imam syafi’i, dengan adanya qoul jadid, berarti qoul qodim tidak bisa digunakan.
Sedangkan mengenai beberapa masalah yang menggunakan qoul qodim dari pada qoul jadid, Karena memang sejumlah ulama pengikut madzhab syafi’i melihat bahwa dalil qoul qodim itu lebih jelas dari pada qoul jadid-nya, sehingga mereka berfatwa dengan menggunakan qoul qodim. Dan mereka tidak menisbatkan qoul qodim pada Imam syafi’i sebagaimana qoul mukhorroj atau dloif, yakni lawan dari nash Imam Syafi’i, yang tidak boleh diamalkan dan dinisbatkan pada Imam syafi’i kecuali dengan memberi catatan.
Dalam Kitab Bujairami Ala-alkhotib disebutkan bahwa Imam Syafi’i berkata : “Aku tidak memperbolehkan orang yang meriwayatkannya(qoul qodim) dariku berfatwa dengannya kecuali sekitar tujuh belas masalah. Dan semuanya itu tidak berlawanan atau bertentangan dengan hadits shohih. Diantara masalah tersebut adalah
- Tidak wajib menjauh dari najis pada air yang tidak mengalir.
- Sunnah mengucapkan taswib (Assholatu khoirum minannaum) pada saat
- Tidak batal wudlu sebab menyentuh mahrom.
- Sucinya Air mengalir yang terkena najis selama tidak berubah.
- Tidak cukup bersuci memakai Batu apabila air kencingnya menyebar.
- Sunnah melaksanakan sholat isya awal waktu.
- Waktu sholat maghrib tidak habis hanya dengan sholat 5 rokaat.
- Tidak disunnahkan bagi makmum membaca surat pada rokaat ke 3 dan 4 bagi orang yang sebelumnya melakukan sholat sendiri, kemudian dia berniat berjamaah karena ada sholat jamaah.
- Makruh memotong kuku mayit.
- Tidak memandang nishob dalam rikaz(harta karun).
- Disyaratkan tahallul(bercukur) saat haji sebab udzur sakit.
- Haram memakan kulit bangkai yang telah di samak.
- Wajibnya dihad seseorang yang menyetubuhi budak yang menjadi mahromnya.
- Diterimanya kesaksian anak atas orang tua.
Beberapa ulama masih berbeda dalam hitungan tepat dalam masalah ini. Sebagian ada mengatakan tujuh belas dan ada juga yang mengatakan sampai dua puluh masalah.
Sumber: Majalah Langitan
0 Comments