AIy Asyhar NF
Salah satu fenomena yang paling mengejutkan diakhir abad 20 adalah munculnya apa yang disebut dengan “Fundamentalisme” dalam tradisi keagamaan di dunia. Ekspresi fundamentalisme ini terkadang sangat mengerikan. Para fundamentalis menembaki jama’ah yang sedang shalat di masjid, membunuh para dokter dan perawat dikiinik aborsi, membunuh presiden, dan bahkan mampu menggulingkan pemerintahan yang kuat.
Statement di atas adalah ungkapan jujur dari seorang Karen Amstrong yang mengaku sebagai “Freelance monotheis” untuk menggambarkan kecenderungan keberagamaan yang disebut sebagai ” Fundamentalisme”. Statement di atas menemukan pembenarannya ketika Amerika Serikat porak-poranda pada tragedi 11 September, yang kemudian menjadikan Islam sebagai terdakwa. Lepas dari ?tu, fenomena demikian membuktikan bahwa agama mempunyai multi potensi yang bisa membentuk pribadi beragam, mulai dari ekstrim kiri sampai ekstrim kanan. Cara pandang dan penghayatan seseorang atas agama dan kepercayaannya serta perkembangan sosial-religius disekitarnya akan merefleksi para perilaku. Karenanya, penghayatan dan ekspresi keberagamaan seseorang tidak pernah tunggal, melainkan warna-warni. Dalam kontek ini fundamentalisme merupakan salah satu bentuk ekspresi keberagamaan tersebut.
Terminologi Fundamentalisme
Dalam The shorter Oxford English Dictionary dijelaskan bahwa fundamentalisme dimaknai sebagai kepatuhan yang keras kepada ajaran ortodoks, dalam Kristen dimaknai kepatuhan kepada injil secara l?teral, yang menjadi dasar (fundamen) kepercayaan Nasrani, dan menentang terhadap leberalisme dan modernisme.
Sebagai istilah yang diproduksi dalam tradisi barat, maka istilah ini tidak cukup populer dalam tradisi Islam. Dalam Islam, fundamentalisme biasanya diterjemahkan dengan al-UshuIiyyah al-Islamiyyah (fundamentalisme Islam ), al salaf?yah (warisan leluhur), al-Sahwah al Islamiyah (kebangkitan Islam ), al-Ihya al Islami (bangunnya kembali Islam), al Badil al Islami (alternat?f Islam). Dengan demikian secara umum fundamentalisme bisa dimaknai sebagai paham untuk kembali kepada sesuatu yang dipandang sebagai pokok, dasar, dan asas. Ketiga hal inilah yang dianggap sebagai sesuatu yang murni dan benar sehingga perlu dipertahankan mati-matian dari segala sesuatu yang bisa mengurangi predikat murni dan benar tersebut. Paham yang murni dan pokok tersebut hanya bisa dicari dari teks-teks literal suci. Upaya mempertahankan kemurnian tersebut kemudian dipaham? sebagai mempertahankan agama ?tu sendiri. Dengan keyakinan semacam itu pula, pera pendukung kelompok ini meyak?ni bahwa perjuangan mereka tidakiah sia-sia dan meruapakan bagian dari jihad, dalam Islam, atau holy war, dalam Kristen. Kalaupun mereka kalah dalam perjuangan di dunia, maka di akhirat mereka akan mendapatkan jaminan kemuliaan di sisi Tuhan.
Kata fundamentalisme bila d?kaitkan dengan Islam, hingga kini masih problematic. Banyak kalangan Islam yang menolak istilah tersebut, bukan saja karena fundamentalisme berasal dari tradisi kristiani tetapi lebih dari itu, fundamentalisme yang dialamatkan kepada sebagian umat Islam dianggap sebagai konspirasi “barat” untuk menyeret Islam dalam lumpur sejarah.
Fundamentalisme kini bukan lagi sekedar kategori sosiologis pemeluk agama, tetapi di dalamnya terdapat muatan ideology yang menyiratkan kebencian, cemoohan, dan ejekan kepada sebagian umat Islam. Fundamentalisme sengaja d?ciptakan untuk menghadang kemajuan Islam yang dianggap akan menjadi ancaman bagi barat pasca keruntuhan komunisme. Sayyed Hussein Nasr termasuk tokoh intelektual muslim yang keberatan dengan istilah “Fundamentalisme Islam” Dia menjelaskan bahwa istilah fundamentalisme yang dipergunakan oleh para jurnalis dan ahli Islam sangat disayangkan dan menyesatkan, sebab istilah tersebut muncul dari konteks umat Nasrani, yang konotasinya benar-benar berbeda. Fundamentalisme dalam lingkungan Nasrani khususnya di Amerika Serikat, menunjuk kepada bentuk-bentuk konservativ Protetanisme, yang biasanya anti kaum modernis dengan interpretasi yang terbatas terhadap Injil dan sangat menekankan etika tradisional Kristen. Pemakaian dan klasif?kasi fundamentalisme untuk menunjuk kepada gerakan kaum muslim dianggap Huseein sangat menyesatkan.
Sebagai tema sosiologis “Fundamentalisme” pada dasarnya merupakan istilah netral yang pada saat tertentu bisa dimaknai positIf ataupun negatif. Fundamentalisme dimaknai positif dalam arti bahwa istilah tersebut menunjukkan kelompok yang teguh memegang keyakinannya tentang kebenaran. Sedangkan makna negat?f terletak pada kesulitan kelompok tersebut untuk melakukan akselarasi gagasan, negosiasi dan resistensi dengan kelompok lain yang dianggap sebagai lawan. Karena itu orang luar memandang bahwa kelompok “Fundamentalis” sebagai kelompok yang kaku dan tak kenal kompromi, meskipun asumsi seperti ini tidak selamanya benar.
Konteks Sosioiogi Teologis Fundamentalisme Agama
Dalam menguraikan aspek teologis fundamentalisme dalam Islam, maka kita harus me-review kembali kehadiran Fundamentalisme dalam Kristen. Hai ini penting dilakukan untuk melihat segi-segi sosiologis-teologis munculnya gerakan Fundamentafisme dalam agama-agama. Dengan penelusuran ini, diharapkan akan muncul pemahaman yang lebih arif dalam melihat kecenderungan dan pergulatan keberagamaan, sehingga tidak terjadi klaim dan penolakan secara membabi buta terhadap terma Fundamentalisme, hanya karena terma ini berasal dari tradisi kristiani.
Kehadiran sistem demokrasi barat, lambat tapi pasti, mulai menggeser kekuasaan dominan yang sekian lama menguasai otoritas kehidupan masyarakat. Gereja yang selama berabad-abad menjadi sentra otoritas kebenaran hampir dalam segala aspek masyarakat Kristen, pada abad 19 mulai banyak digugat dan dipertanyakan. Terutama setelah terjadinya banyak penemuan-penemuan dalam ilmu pengetahuan yang secara mendasar bertentangan dengan kekuasaan dogmatic gereja. Sebagai contoh, pener?man teori evolusi yang begitu cepat, baik di dalam maupun di luar kalangan biologi, dirasakan mengancam keyakinan kitab suci yang menjadi dasar teologi Kristen. Teori evolusi yang ditawarkan kelompok baru untuk memahami tuhandan agama dalam batas tertentu mampu membekukan nilai-nilai kristiani. Kecenderungan baru ini juga berhasil mengesampingkan sitem study Bible berdasarkan f?lsafat Aristoteles.
Gerakan ini semakin berkembang setelah perang dunia I. Bible Confrence o f Conservative Protestante (Konprensi Bible Protestan Konservativ ) mengadakan sidang beberapa kali untuk menentukan sikap atas kritikan kelompok baru atas Bible. Dalam sidang di Niagara 1895 d?keluarkan sikap mengenai fundamentalisme yang dikenal dengan “The Five Poni of Fundamentalisme” Yaitu, 1. Kitab suci tidak pernah salah kata demi kata. 2. Ketuhanan Yesus 3. Kelahiran Yesus dari ibu perawan 4. Ketentuan baru dalam penebusan dosa. 5. Kebangkitan dan kelahiran Yesus secara f?sik. Istilah fundamentalisme lebih populer lagi setelah dikeluarkan 12 risalah berjudui “The Fundamentalis” pada 1909 yang disebarluaskan ke seluruh dunia. Pada 1919 didirikan World Cristian Fundamentais Association untuk mengokohkan keberadaan kaum fundamentalis.
Abad itu merupakan saat-saat perjuangan sengit antara ilmu dan teologi, bahkan antara ilmu dan Kristen. Karena gereja, Bible dan teologi dianggap tidak mampu mengakomodir perkembangan ilmu pengetahuan, maka muncul kelompok baru yang mempertanyakan dengan kritis tentang Bible baik dari segi sejarahnya maupun interpretasinya. Tajamnya perseteruan ini memunculkan kepercayaan di kalangan fundamentalis bahwa pertarungan tersebut bukan pertarungan politik biasa, tetapi sebagai pertarungan kosmis antar kebaikan dan kejahatan. Mereka cemas dengan ancaman pemusnahan basis agama mereka, sehingga mereka membentengi doktrin dan praktik masa lampu ( Islam Salaf?yyun ) untuk memberi legitimasi historis atas keyakinannya. Atas dasar itu , kaidah-kaidah kebudayaan sepert? resistensi dan negosiasi tetap saja terjadi dalam proses dialektika dua kelompok besar yang saling merebut pengaruh untuk membenarkan keyakinanya tersebut.
Dalam proses dialektikanya, ada beberapa ciri yang terdapat dalam gerakan fundamentalisme Kristen yang dalam batas tertentu relevan untuk melihat fundamentalisme Islam. Ciri-ciri tersebut antara lain : 1. memberi penekanan pada interpretasi literal terhadap teks-teks agama. Mereka menolak pemahaman hermeneutic atas teks suci agama karena pemahaman sepert? ini dianggap akan menghilangkan kesucian agama. 2. Setiap gerakan fundamentalisme hampir selalu dapat dihubungkan dengan fanatisme, ekskiusif?sme, intoleran, radikalisme dan militanisme. Oposisionalisme kaum fundamentalis dalam berbagai agama mengambil bentuk perlawanan terhadap ancaman yang dianggap membahayakan eksistensi agama. 3. Fundamentalisme selalu memberikan penekanan kepada pembersihan dari unsur-unsur “isme” modern, misalnya, modernisme, liberalisme dan humanisme. 4. Adanya monopoli kebenaran atas tafsir agama. Kaum fundamentalis menganggap bahwa dirinya adalah penafsir agama yang paling sah dan benar, sehingga memandang sesat kepada kelompok lain. 5. menolak terhadap pluralisme dan relativisme.
Akar utama munculnya fundamentalisme dalam tradisi Kristen berawal dari cara pandang terhadap teks suci dan beberapa aspek agama. Dari sudut teologi ini ada beberapa problem yang mengemuka dalam tradisi Kristen. 1. fundamentalisme melihat teks Bible mempunyai pengert?an mutlak, jelas dan tidak berubah. Bible tidak perlu tafsir karena sudah jelas maksud dan tujuannya. Meskipun mengatakan bahwa Bible tak perlu tafsir, mereka membuat tafsir yang dianggap sebagai Bible itu sendir?. 2. Bible dianggap sebagai satu-satunya kebenaran. Teks
Bible bisa mengatasi dan melampaui segala realitas. Karenanya, realitas harus ditundukkan oleh Bible. 3. Kaum fundamentalis menyangkal adanya unsur manusiawi dalam Bible. Mereka berkeyakinan bahwa Bible tak ubahnya pribadi Yesus sendir? yang terdiri atas unsur manusia dan tuhan. 4. Intrepretasi kaum fundamentalis ser?ng berhubungan dengan ramalan. Kejadian didunia lebih dilihat sebagai ancaman dan keputusan Tuhan. Sehingga tidak ada lagi ruang bagi manusia untuk menyalurkan aspirasinya secara bebas. (Jumal Ulumul Qur-an Fundamentalisme isiam: Istilah yang dapat menyesatkan. Hai 26-27) Dari ilustrasi tersebut dapat kita lihat adanya semacam interplay antara gerakan yang melakukan kritisisme atas Bible dan gerakan oposisi atas dominasi gereja dengan fundamentalisme . Bible sebagi teks suci, sakral dan tidak boleh dikritik dipandang berbeda oleh kelompok baru bahwa Bible belum selesai, harus dikritik dan terbuka.
Fundamentalisme dalam pengertian yang sangat elementer berkaitan dengan teks suci agama ini, sebenarnya bisa juga dialamatkan pada paham yang terdapat dalam Islam. Dalam pandangan mainstrem umat Islam, AI-Qur-an merupakan teks yang tertutup, sakral, tak boleh dikritik. Karena huruf-hurufriya diyakini sebagai wahyu yang sudah selesai. Dalam konteks inilah, Bernard Lewis menyebutkan, sejauh berkaitan dengan teks suci, pada dasarnya kaum muslim bersifat fundamentalistik. Tidak sebagaimana fundamentalis Kristen, kaum fundamentalis Islam tidak hanya menyandarkan kepada teks AI-Qur-an , tetapi juga kepada hadits-hadits nabi dan kumpulan ajaran teologis serta hukum yang diwariskan kepadanya. Tujuannya adalah menghapus segala aturan, norma sosial dan ketentuan yang dianggap tidak asli dari Islam dan yang telah terpengaruh arus modernisasi serta menggantinya dengan syariat Islam yang kaffah.
Karakteristik Fundamentalisme Islam
Bila muncul pertanyaan, “Apakah fundamentalisme Islam itu baik atau buruk?” Riffat Hassan mempunyai jawaban yang menarik. Jawaban dan pertanyaan di atas haruslah obyektif. Art?nya pertanyaan tentang fundamentalisme Islam semestinya adalah Islam fundamental. Bila yang fundamental dianggap baik, maka fundamentalisme adalah baik. Bila yang fundamental di anggap jelek maka fundamentalisme juga jelek.
Terlepas dari keragaman dan asal-usul munculnya istilah fundamentalisme, yang jelas fundamentalisme dalam Islam mempunyai kecenderungan yang sama dengan dunia Kristen, terutama cara pandang terhadap teks suci dan sikap terhadap kemajuan barai Namun, fundamentalisme dalam isiam tidak semata-mata karena respon atas barat, tetapi juga muncul karena pergulatan internai dalam memaknai agama dan teks sudnya. Memang, pergulatan teks suci dalam Islam dan Kristen berbeda. Tingkat kewahyuan juga berbeda. Al-Qur-an diyakini sebagai f?rman Allah, sedangkan dalam Kristen kewahyuan itu ada dalam diri Yesus, dan Injil merupakan kesaksian dan ucapan Yesus. Al-Quran itu setingkat dengan Yesus, sedangkan Injil setingkat dengan hadits Nabi SAW dalam Islam. Disamping tingkat kewahyuan, sejarah kodif?kasi dan proses penafsirannya juga berbeda, meskipun pada tingkat tertentu masalah yang dihadapi sama.
Azyumardi Azra membuat dua tipe fundamentalisme dalam Islam, yaitu fùndamentalis pra modern dan fundamentalisme kontemporer, meski terkadang kedua tipe tersebut terkesan tumpah-tindih sehingga tak bisa dipegang secara kaku. Fundamentalisme pra modern dapat dilacak ke belakang pada masa awal sejarah Islam. Gerakan kaum Khawarij, yang muncul pada masa akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib, dengan prinsip yang ekstrim dan radikal, dapat dilihat sebagai fundamentalisme klasik yang mempengaruhi fundamentalisme sepanjang sejarah. Dengan jargon la hukma illa lillah, tiada hukum selain dari Allah, mereka menolak Ali dan Muawiyah, bahkan mengkaf?rkan keduanya. Pandangan yang ekstrim dan radikal tersebut dibarengi dengan sikap politik yang radikal pula. Mereka berpandangan bahwa siapapun yang bertentangan pendapat dengan mereka adalah musyrik dan boleh dibunuh. Tipe gerakan Khawarij ini pada akhirnya menjadi langgam gerakan fùndamentalisme, yakni perpaduan antara doktrin teologis dan gerakan politik.
Sedangkan gerakan fundamentalisme kontemporer lebih banyak sebagai respon terhadap Barai, mesk?pun tema-tema yang berkaitan dengan inward oriented tetap menjadi focus dan pilihan idiologis mereka. Paling tidak ada dua masalah besar yang menjadi perhatian kelompok ini. Pertama, mereka menolak sekularisme Barat yang memisahkan agama dari politik, gereja dari negara. Kesuksesan Barat melakukan sekularisasi yang terus merembes kedalam Islam dianggap sebagai suatu ancaman yang berbahaya, karena dapat mengancam Islam sebagai agama yang tidak hanya mengurusi masalah ukhrawi, tapi juga duniawi. Kedua, banyak masyarakat Islam yang menginginkan agar masyarakat mereka diper?ntah dengan menggunakan Al-Qur-an dan syari’at Islam sebagai hukum negara. Kemunduran Islam diberbagai belahan dunia, menurut kelompok ini, karena mereka tidak lagi menggunakan syari’at Islam sebagai acuannya.
Kedua hai tersebut dianggap sebagai ancaman bagi umat Islam. Proses modemisasi yang dilakukan Barat telah mampu mentransformasikan masyarakatnya yang antara lain ditandai dengan kemajuan sains dan teknologi. Kemajuan ini menjadikan umat Islam canggung dalam merespon dan melihat doktrin agamanya. Di satu sisi mereka meyakini kesempumaan agamanya, tetapi di saat yang sama mereka menyaksikan kemajuan, yang ironisnya, hai itu terjadi ketika agama semakin dijauhkan dari ranah publik lewat sekularisasi. Hai tersebut menimbulkan sikap resistensi sebagaian umat isiam dengan mengedepankan sikap apologetik dengan berbagai cara. Diantaranya dengan membeberkan kelebihan-kelebihan Isiam baik dari segi doktrinalnya maupun histor?snya, sembari mengagung-agungkan kejayaan masa lampau.
Cara berf?kir semacam ini mewamai hampir semua gerakan fundarnentalis, seperti gerakan IkhwanuI Muslimin dengan Hasan al-Banna dan Sayyid Qutb ( 1906 -1965 ) sebagai ideolognya, gerakan jihad dengan doktr?n al-tafkir wal-Hijrah, gerakan Jama’at al-islamnya al-Maududi dan sebagainya. Gerakan-gerakan ini disamping menjadikan jihad sebagai maskot utama gerakannya, mereka juga mengangkat tema-terna yang sering di dengungkan oleh kaurn fundamentalis Kristen pada umumnya. Wallahu Ta’ala alam bisshawab.
Staf Pengajar PP. AI-Fattah Siman Lamongan & Sekfen FKIBM
aku ingin pondok pesantren langitan ikut kabupaten lamongan bukan tuban