KH. Afifuddin Muhajir Terangkan Moderasi dalam Halaqah Fikih Peradaban

Penulis : Tim Admin

January 19, 2023

KH. Afifuddin Muhajir memaparkan materinya secara daring dalam Halaqah Fikih Peradaban yang diselenggarakan di Pon. Pes. Langitan Selasa (10/1/23).

Pondok Pesantren Langitan dalam partisipasinya memeriahkan jelang Resepsi Satu Abad NU mengadakan Halaqah Peradaban Fikih dengan empat narasumber. Salah satu narasumbernya adalah KH. Dr. (HC) Afifuddin Muhajir dengan tajuk materi “Ushul Fikih sebagai dasar Pengembangan Arus Moderasi dalam Berbangsa dan Bernegara.”

Pemaparan materi diawali dengan uraian beliau tentang moderasi. Moderasi yang seringkali disampaikan dengan bahasa wasathiyah, atau sebaliknya (wasathiyah diartikan dengan moderasi). Berangkat dari moderasi atau wasathiyah sendiri sebenarnya adalah wajah asli dari Islam sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 143 : وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ . Artinya : “Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.”

Rasulullah mengartikan wasathiyah sendiri sebagai adil (adl). Atau dalam maknanya bisa ditarik pemahaman tentang adil adalah wadh’u syai’in fi mahallihi (menaruh sesuatu sesuai tempatnya). Dari sini beliau menerangkan tentang kaidah اختلاف الفتوى باختلاف حال المستفتي. (Perbedaan fatwa dengan perbedaan kondisi orang yang meminta fatwa). Artinya suatu hukum akan diberikan tergantung kondisi dan situasi yang mendukung fatwa hukum tersebut. Perihal hukum tidak bisa distandarkan dan menjadi pakem pada satu objek saja tanpa memandang kondisi.

Ushul Fiqh membangun pondasi hukum Islam menjadi dua; hukum takhlifi ada hukum waqfi. Terkait hukum takhlifi lahirlah lima pemetaan hukum, yaitu wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah. Dalam praktiknya, hukum takhlifi tidak bisa dipisahkan dengan hukum wadh’i yang ada lima, yakni syarat, mani’, butlan, fasad, dan rukhshah dan lazimah. Juga hukum takhlifi akan dituntun oleh dua keadaan yang mengikat seorang mukallaf, berikut halah ihtiyajiyah (keadaan normal) dan halah ihtirojiyah (keadaan tidak normal).

Apabila keadaan itu normal, maka hukum yang keluar pun harus sesuai dengan hukum asli. Beda halnya dengan keadaan yang tidak normal, maka hukum yang dikeluarkan pun berupa rukhshah (dispensasi). Demikian juga apa yang dilakukan ulama terdahulu kala memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai contoh, bagaimana ulama NU rela mencoret 7 kata dalam Piagam Jakarta. Beliau rasa yang dipandang dari wasathiyah yaitu waqi’iyah atau realistis. Sekalipun pada dasarnya Islam menginginkan idealis (mitsali) tetapi tidak menutup mata pada realita yang ada.

Lebih lanjut, beliau menjelaskan tentang kemelut yang pernah terjadi dahulu saat pergolakan BPUPKI dalam membangun asas negara. Dalam sidang BPUPKI ada dua firqoh (golongan). Satu firqoh menginginkan Indonesia menjadi negara Islam berdasarkan syariatnya dan firqoh kedua yang berhaluan sekuler menginginkan hal yang bertolak belakang, yakni menjadikan Indonesia negara sekuler. Akhirnya, keduanya bersepakat dengan Pancasila sebagai asas negara.

Lantas selang beberapa waktu seusai kemerdekaan Indonesia, pihak bagian timur mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia apabila sila pertama Pancasila tidak diganti. Lalu permasalahan demikian diputuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai bertemunya 2 dharar (bahaya). Tetapi pemisahan (kejadian memisahkan diri dari kenegaraan Indonesia yang sudah terbentuk) merupakan dharar yang lebih berat jika dibanding hanya dengan mencoret sila Pancasila demi mempertahankan kentalnya sila pengekspresian syariat Islam yang dalam pada itu dijadikan asas negara. Demikian pandangan beliau tentang pengekspresian wasathiyah dalam proses pembentukan Pancasila sebagai asas hukum negara oleh ulama terdahulu yang turut memperjuangkan terbentuknya kedaulatan Indonesia. Wallahu a’lam.

Pewarta: A.M. Sofiansyah

Editor: Abdulloh Al-Faiq

Tulisan Terkait

0 Comments

Submit a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Komentar

Posting Populer